Tari Gandrung, salah satu ikon budaya dari ujung timur Pulau Jawa, dulunya adalah denyut nadi kehidupan seni masyarakat Banyuwangi. Ia bukan sekadar pertunjukan tari, melainkan ritus sosial dan spiritual yang mengakar kuat dalam tradisi agraris dan identitas lokal suku Osing.
Dalam setiap gerak dan irama, Gandrung menyuarakan kisah syukur kepada Dewi Sri atas panen yang melimpah, sekaligus menjadi ruang interaksi sosial yang mempertemukan masyarakat dari berbagai lapisan.
Namun, di tengah gelombang zaman di era digital menjadi berubah, tari yang dulunya begitu mempesona ini kini tampak memudar sinarnya.
Gandrung perlahan-lahan bergeser dari posisi sentralnya sebagai lambang kebanggaan daerah menjadi sekadar pelengkap pada acara-acara seremonial.
Dulu, menjadi penari Gandrung adalah sebuah kehormatan. Seorang "gandrung" bukan hanya menari, tetapi juga menjadi simbol keanggunan, ketekunan, dan pemahaman spiritual akan filosofi hidup Jawa.
Proses menjadi penari Gandrung pun tidak sembarangan. Mereka harus melewati tahap-tahap latihan yang panjang, memahami makna setiap gerak dan syair lagu, serta berlatih dalam penguasaan diri yang tinggi.
Tak jarang, seorang penari Gandrung dilatih sejak kecil, dititipkan kepada sang maestro agar nilai-nilai keasliannya terwariskan secara utuh.
Sosok legendaris seperti Gandrung Marsan atau Gandrung Temuk dikenal bukan hanya karena keindahan tariannya, tetapi karena keteguhannya menjaga ruh tradisi.
Namun, dalam dua dekade terakhir, regenerasi penari Gandrung mengalami tantangan besar.
Dunia yang serba cepat, budaya populer yang mengedepankan instan dan visualisasi modern, telah menggerus daya tarik tari-tari tradisional seperti Gandrung.
Anak-anak muda Banyuwangi kini lebih terpikat pada tarian-tarian viral di media sosial, gerak modern yang praktis dan mudah dipelajari, serta gaya hidup yang tidak lagi menempatkan seni tradisi sebagai bagian dari pencarian jati diri.
Di sekolah-sekolah, kurikulum seni tradisi kurang mendapat ruang yang cukup. Di rumah, orang tua pun jarang lagi mendorong anaknya menjadi penari Gandrung karena dianggap kurang menjanjikan secara ekonomi.
Distorsi zaman inilah yang membuat regenerasi Gandrung nyaris terputus. Ironisnya, saat Gandrung menghadapi krisis regenerasi, pemerintah daerah justru semakin gencar mempromosikan tari ini sebagai atraksi wisata.
Festival Gandrung Sewu yang digelar setiap tahun di Pantai Boom mampu menarik ribuan wisatawan dan menjadi sorotan media nasional. Namun di balik kemegahan itu, banyak pemerhati budaya menilai bahwa esensi Gandrung mulai mengalami pelunturan.
Tari Gandrung dikoreografikan ulang agar sesuai dengan format pertunjukan massal dan waktu yang terbatas. Elemen-elemen spiritual dan naratif dikompresi, bahkan terkadang dihilangkan demi memenuhi kebutuhan estetika panggung yang lebih modern.
Dalam banyak kasus, tari Gandrung lebih terasa sebagai komoditas visual ketimbang sebagai ekspresi kebudayaan yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat. Permasalahan Gandrung di masa kini bukan hanya soal regenerasi penarinya, tetapi juga menyangkut transformasi nilai.
Di era digital, anak muda terbentuk oleh budaya audio-visual yang cepat, dangkal, dan sangat terfragmentasi. Tari Gandrung yang sarat makna dan memerlukan dedikasi untuk memahaminya, tidak lagi sejalan dengan pola pikir generasi yang terbiasa dengan hiburan satu menit di layar ponsel.
Tantangan ini makin kompleks ketika kita menyadari bahwa sistem sosial pendukung tradisi Gandrung seperti sanggar-sanggar kecil, komunitas pengrajin kostum, penabuh gamelan, hingga para pelatih juga menghadapi kesulitan dalam mempertahankan eksistensinya.
Banyak dari mereka bekerja secara sukarela dan nyaris tanpa dukungan ekonomi yang memadai. Meski demikian, harapan belum sepenuhnya padam. Di beberapa titik, muncul inisiatif-inisiatif kecil yang mencoba menyalakan kembali semangat Gandrung.
Beberapa sekolah mulai mengintegrasikan tari Gandrung dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Ada pula seniman muda yang berani bereksperimen dengan menggabungkan Gandrung dengan unsur kontemporer tanpa menghilangkan akar tradisinya.
Di media sosial, sejumlah konten kreatif mulai bermunculan, memperkenalkan Gandrung secara visual yang menarik kepada audiens muda. Upaya-upaya ini tentu belum mampu menyamai kekuatan Gandrung di masa lalu, tetapi setidaknya menjadi titik pijak untuk mengembalikan Gandrung ke posisi yang lebih terhormat di tengah masyarakat.
Yang diperlukan kini adalah strategi kultural yang menyeluruh. Pemerintah tidak cukup hanya mengadakan festival atau lomba tahunan. Harus ada kebijakan jangka panjang yang mendukung pelestarian seni tradisi melalui pendidikan formal dan non-formal.
Dukungan finansial, pelatihan pelatih muda, insentif bagi sanggar-sanggar kecil, hingga penguatan riset dan dokumentasi tentang sejarah serta filosofi Gandrung harus menjadi bagian dari strategi tersebut.
Kolaborasi dengan institusi budaya dan akademisi juga sangat penting agar revitalisasi tidak bersifat artifisial, tetapi berakar pada pemahaman yang utuh terhadap kebudayaan lokal.
Tari Gandrung adalah cermin dari jiwa Banyuwangi. Ketika cermin itu mulai buram, bukan berarti ia kehilangan nilainya.
Ia hanya menunggu tangan-tangan yang bersedia membersihkannya kembali, agar bisa memantulkan wajah masyarakat yang tak sekadar modern, tetapi juga sadar akan akar budayanya.
Dalam kerendahan gerak dan kelembutan irama Gandrung, sesungguhnya tersimpan kekuatan besar yang mampu menyatukan generasi lama dan baru asalkan ada kesediaan untuk mendengarkan kembali bisikan tradisi yang nyaris tenggelam oleh kebisingan zaman.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi