x
x

Dualisme HNSI: Tikaman Politik, Mengkhianati Kepentingan Nelayan

Minggu, 18 Mei 2025 19:38 WIB

Reporter : Redaksi

Di tengah kekayaan laut yang melimpah, ironi para nelayan Indonesia hidup dalam kemiskinan struktural, terpinggirkan oleh kebijakan dan sekarang ditambah kebingungan akibat konflik elit di organisasi yang seharusnya membela mereka,  Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Dualisme kepengurusan HNSI bukan sekadar persoalan administratif  melainkan bentuk nyata pengkhianatan politik terhadap jutaan nelayan yang menunggu solusi, bukan sandiwara kekuasaan.
 
Persoalan bermula dari manuver politik di ujung masa jabatan Yasonna H. Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM. Tepatnya pada 10 November 2023, ia menerbitkan SK AHU-0001561.AH.01.08 yang mengesahkan Munas HNSI Bali dengan Herman Herry Adranacus  sesama kader PDIP — sebagai ketua umum. Padahal, hanya enam hari sebelumnya, SK AHU-0001530.AH.01.08 telah lebih dahulu dikeluarkan untuk Munas HNSI Bogor yang dipimpin Laksamana (Purn) Sumardjono, berdasarkan hasil keputusan mayoritas DPD dan sesuai AD/ART organisasi.
 
Tindakan Yasonna mencerminkan konflik kepentingan dan menciptakan dualisme yang justru merusak legitimasi organisasi di mata publik dan anggota. Ini bukan hanya cacat etik, melainkan malpraktik administratif yang perlu ditinjau ulang oleh Menkumham baru, Supratman Andi Agtas. Bila tidak segera dicabut maka struktur organisasi dan program-program pro-nelayan akan lumpuh.
 
HNSI MANGKRAK

Perlu dicatat, HNSI sempat “mangkrak” selama hampir 15 tahun di bawah kepemimpinan Mayjen (Purn) Yussuf Solichein. Tak ada regenerasi, tak ada program kerja terukur, tak ada perlindungan nyata bagi nelayan. HNSI menjadi organisasi papan nama, bukan alat perjuangan. Organisasi ini mangkrak.
 
Upaya revitalisasi HNSI melalui Munas Bogor patut diapresiasi. Sumardjono bersama Dewan Pembina Tinton Soeprapto dan para mantan KSAL mencoba membangun kembali kepercayaan publik nelayan. Program-program prioritas pun mulai dirancang, yaitu pemetaan kebutuhan BBM subsidi, penyusunan database nasional nelayan, perlindungan sosial melalui asuransi hingga penguatan koperasi nelayan.
 
Namun semua itu terancam kandas hanya karena satu hal: konflik dualisme legalitas.
 
Data dari dokumen resmi HNSI Bogor menyebutkan sejumlah masalah akut: BBM subsidi tidak tepat sasaran. Kuota nasional 2 juta ton namun hanya terserap 600 ribu ton. Kelangkaan dan akses menjadi isu serius. Contoh, DPD Sumatera Utara butuh 21 titik tambahan SPBUN. Tidak ada database terintegrasi nelayan nasional. Pemerintah tidak tau pasti berapa jumlah nelayan, jenis kapal, strata ekonomi atau lokasi mereka.
 
Aturan tumpang tindih pusat-daerah.  Misalnya zoning penangkapan yang membingungkan dan sering tumpang tindih dengan kawasan konservasi atau kepentingan swasta. Minim jaminan sosial. Belum semua nelayan dan keluarganya terlindungi asuransi atau skema perlindungan sosial.
 
Ancaman asing. Illegal fishing dari nelayan Thailand, Filipina, Vietnam dan Malaysia tetap terjadi. Akibatnya, 75% sumber daya ikan Indonesia sudah dieksploitasi berlebihan.
 
Dengan kondisi seburuk itu alangkah memalukan bila elit politik justru sibuk berebut kursi kepemimpinan dan menyalahgunakan instrumen hukum demi kepentingan segelintir kader partai.
 
SAATNYA TEGAS

Menteri Supratman Andi Agtas sudah menyatakan tak akan “cawe-cawe”. Namun netralitas bukan berarti membiarkan hukum dipermainkan. Harus ada peninjauan serius terhadap SK Kemenkumham yang tumpang tindih.  Harus tegas mencabut legalitas yang cacat prosedur yang muncul belakangan.
 
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai "bapak angkat nelayan" juga harus turun tangan. Sebab jika konflik ini dibiarkan berlarut, bukan hanya HNSI yang mandul tapi juga nasib nelayan yang kembali tenggelam dalam lumpur ketidakpedulian.
 
Nelayan tidak butuh dua HNSI. Mereka butuh satu organisasi yang bekerja, bukan dua yang berkonflik. Laut adalah sumber kehidupan bukan arena bagi elit partai berpolitik. Jika konflik ini tidak diselesaikan maka sejarah akan mencatat bahwa di tengah laut yang melimpah, politisi Indonesia membuat nelayannya tenggelam.
 
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
 
 
 

Editor : Redaksi

LAINNYA