x
x

TNI Amankan Kejaksaan Di Seluruh Indonesia, Ada apa ?

Sabtu, 17 Mei 2025 13:11 WIB

Reporter : Redaksi

Pengerahan personel TNI untuk mengamankan seluruh kantor kejaksaan di Indonesia menjadi sorotan tajam publik sejak surat perintah dari Panglima TNI beredar.

Setiap Kejaksaan Tinggi akan dijaga satu peleton, dan setiap Kejaksaan Negeri satu regu tentara.

Kepala Pusat Penerangan Hukum  Agung (Kejagung) Harli siregar mengatakan pengerahan TNI untuk pengamanan kantor kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri tertuang dalam surat Telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyakto pada 5 Mei 2025

Harli menjelaskan kerjasama dilakukan TNI bukan Polri karena kemudahan koordinasi di Kejagung. Terdapat Jaksa Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) yang juga diisi TNI. "Sehingga dalam menjalankan tugas dan fungsinya ya berkoordinasi dengan TNI" Kata Hali di kantor Kejagung, Rabu 14 Mei 2025 ( TEMPO)

Langkah ini, meskipun disebut sebagai bagian dari kerja sama formal antara Kejaksaan Agung dan TNI, menimbulkan pertanyaan besar tentang batas keterlibatan militer dalam institusi sipil.

Apa yang sebenarnya terjadi di balik kebijakan ini, dan ke mana arah hubungan sipil-militer Indonesia?

Keputusan ini disebut-sebut sebagai langkah responsif terhadap analisis intelijen yang mengindikasikan ancaman terhadap lembaga kejaksaan.

Namun, alih-alih mendapat dukungan luas, kebijakan ini justru menimbulkan kekhawatiran atas potensi normalisasi keterlibatan militer dalam fungsi-fungsi sipil yang secara prinsip harus dijalankan secara independen.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dalam sejarah Indonesia, militer pernah menjadi kekuatan dominan dalam kehidupan sipil, dan reformasi 1998 telah secara tegas membatasi peran militer hanya pada fungsi pertahanan negara.

Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, menyampaikan peringatan keras bahwa pengerahan militer dalam pengamanan institusi hukum dapat berujung pada pelanggaran konstitusi.

Peran militer di luar fungsi pertahanan hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat militer atau keamanan, yang ditetapkan melalui mekanisme hukum.

Kalau semua lembaga negara meminta pengamanan TNI, dikhawatirkan mengurangi fungsi kinerja polisi. Karena diharapkan sistem keamanan sipil dibangun sejak reformasi bisa bekerja dengan baik

Alasan seperti 'analisis intelijen' atau 'objek vital' tidak bisa serta-merta membenarkan keterlibatan militer di ranah hukum.

Di sisi lain, Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kejaksaan Agung berdalih bahwa kerja sama ini hanya bersifat temporer dan bertujuan memperkuat aspek pengamanan fisik kantor kejaksaan, terutama dalam konteks meningkatnya eskalasi ancaman terhadap jaksa-jaksa yang menangani kasus besar.

Mereka juga menegaskan bahwa TNI tidak akan turut campur dalam proses hukum ataupun proses penuntutan. Namun pernyataan tersebut tetap sulit meredam kegelisahan publik.

Kritik juga datang dari akademisi. Herdiansyah Hamzah, pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, mengingatkan bahwa pelibatan militer secara intensif ke institusi sipil akan menciptakan ruang kelabu dalam akuntabilitas dan kontrol.

Karena sulit mengawasi militer ketika mereka mulai menetap di institusi hukum, Kita tak punya mekanisme sipil yang mampu mengontrol pergerakan TNI dalam ruang sipil

Logika penegakan hukum tidak bisa bercampur dengan logika komando militer, karena masing-masing bekerja dalam sistem nilai dan prosedur yang sangat berbeda.

Menariknya, pengerahan TNI ke kejaksaan ini terjadi dalam masa transisi pemerintahan, menjelang pelantikan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Banyak pihak melihat ini sebagai sinyal politik, bahwa Prabowo tengah membangun landasan kekuasaan yang kuat, dengan mengonsolidasikan institusi-institusi penting.

Pengamat politik Firman Noor dari BRIN mengungkapkan bahwa ada nuansa perebutan pengaruh antara kekuatan lama dan kekuatan baru dalam kebijakan ini.

Ada kesan Prabowo sedang menata ulang peta kekuasaan, dan salah satu sektor yang paling strategis adalah penegakan hukum. Ia harus mengamankan ruang itu dari sisa-sisa pengaruh kekuasaan sebelumnya.

Narasi makin menguat ketika melihat bahwa Jampidmil Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer juga tengah diperkuat.

Lembaga ini akan menjadi tempat di mana anggota TNI yang terlibat dalam tindak pidana dapat dituntut melalui mekanisme gabungan kejaksaan dan peradilan militer.

Jika dilihat dari sudut pandang restrukturisasi, ini mungkin dianggap sebagai langkah sistemik untuk memperbaiki integrasi sipil-militer dalam konteks penegakan hukum.

Namun tantangan utamanya adalah memastikan bahwa tidak ada kekuatan yang dominan dan tak tersentuh di balik simbol kerja sama itu.

Sayangnya, di masyarakat, langkah ini justru menambah kekhawatiran akan kembalinya peran militer ke jantung kehidupan sipil.

Rezim Orde Baru masih menyisakan trauma institusional yang kuat. Reformasi TNI pasca-1998 adalah hasil perjuangan panjang, dan pengerahan tentara ke institusi hukum sipil secara tidak langsung terasa seperti langkah mundur.

Bila tidak ada mekanisme kontrol yang jelas, tindakan ini bisa menjadi preseden buruk.

Memang, keamanan jaksa dan lembaga penegak hukum adalah sesuatu yang sangat penting.

Namun pengamanan itu seharusnya dijalankan oleh aparat sipil dan Polri, atau dengan sistem pengamanan internal yang berbasis profesionalisme dan transparansi.

Ketika militer turun tangan dalam konteks yang ambigu, maka yang menjadi taruhan bukan hanya independensi lembaga hukum, tetapi juga keberlanjutan demokrasi itu sendiri.

Kita tidak sedang berada dalam situasi darurat militer, tidak pula ada ancaman yang cukup signifikan secara terbuka untuk membenarkan pengerahan tentara secara luas ke kantor-kantor kejaksaan.

Maka, wajar jika publik menuntut klarifikasi yang lebih transparan, serta jaminan bahwa ini bukan bagian dari proyek politik kekuasaan yang disamarkan dalam bahasa keamanan.

Indonesia telah belajar dari masa lalu, bahwa kekuatan militer yang tidak terkendali dapat menjadi ancaman bagi demokrasi dan keadilan.

Maka, ketika wacana keamanan justru membuka celah dominasi militer, kita semua harus bertanya: apakah ini bentuk kemajuan, atau justru pengulangan sejarah dengan wajah baru?

                        
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

Editor : Redaksi

LAINNYA