x
x

Novel Religius , Bukan Sekedar Roman Klasik

Jumat, 16 Mei 2025 13:35 WIB

Reporter : Redaksi

Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Prof. Buya Hamka pertama kali diterbitkan pada tahun 1938. Karya ini awalnya dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Pedoman Masyarakat, lalu diterbitkan dalam bentuk buku oleh Balai Pustaka.

Novel ini merupakan salah satu karya awal Hamka yang menandai kiprahnya dalam dunia sastra Indonesia modern.

Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Prof. Dr. Hamka bukan sekadar roman klasik yang mengangkat kisah cinta dua insan, melainkan sebuah renungan mendalam tentang keyakinan, martabat, dan pergulatan manusia dengan garis nasib.

Dalam balutan bahasa yang lembut dan puitis, Buya Hamka menuturkan kisah Hamid dan Zainab dua jiwa yang tumbuh bersama di bawah atap rumah yang sama namun terpisah oleh benteng tak kasatmata bernama status sosial.

Kisah ini bergulir di tengah-tengah masyarakat Minang pada awal abad ke-20, masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan garis keturunan, hingga terkadang menyingkirkan rasa demi norma yang diwariskan turun-temurun.

Hamid adalah pemuda yatim piatu, miskin harta namun kaya hati dan budi. Ia diasuh oleh keluarga Zainab yang bangsawan, dan dalam interaksi yang penuh kehangatan, tumbuhlah cinta yang suci dan diam-diam antara keduanya.

Cinta itu tak pernah benar-benar terucap, tidak pula diumbar. Ia mengalir tenang, seperti doa yang tak pernah putus kepada langit.

Namun masyarakat tak memberi ruang pada cinta yang menyimpang dari pakem adat.

Ketimpangan kelas menjadi pemisah yang keras kepala; cinta Hamid kepada Zainab tak pernah dianggap mungkin oleh lingkungan yang menilai segalanya dari darah dan harta.

Buya Hamka menulis kisah ini bukan dengan kemarahan, tetapi dengan keprihatinan yang dalam.

Ia tidak menggugat adat secara frontal, namun menghadirkan sebuah kisah yang menggugah hati dan mengundang kita untuk berpikir ulang tentang batas-batas yang kita anggap wajar.

Lewat narasi yang reflektif, ia menunjukkan bahwa cinta tak selamanya soal memiliki. Hamid tidak pernah memaksakan perasaan, tidak pula memperjuangkan cintanya secara terbuka.

Sebaliknya, ia memilih diam, menahan gejolak batin, dan akhirnya pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci sebagai bentuk penyerahan diri kepada takdir dan Tuhan.

Dalam perjalanan batin itu, kita melihat bagaimana iman menjadi pelipur lara. Kepergian Hamid ke Mekkah bukan sekadar pelarian dari kenyataan, melainkan langkah untuk menenangkan jiwanya yang resah. Ia mencari perlindungan, dan dalam Ka'bah ia menemukannya.

Di bawah lindungan rumah Allah itu, Hamid menumpahkan seluruh luka dan cinta yang tak sempat terucap.

Simbolisme Ka'bah dalam cerita ini sangat kuat. Ia bukan hanya menjadi tempat fisik yang suci, tapi juga lambang keteduhan spiritual bagi mereka yang kecewa dan kehilangan tempat dalam dunia fana.

Zainab, di sisi lain, bukanlah tokoh perempuan yang pasrah dan lemah. Ia adalah sosok yang setia, berani mencintai dalam diam, namun tetap terikat oleh kewajiban adat dan kehendak orang tua.

Dalam masyarakat saat itu, perempuan tak punya banyak pilihan. Ia harus patuh, bahkan ketika hatinya memberontak.

Tragedi cinta mereka berdua adalah hasil dari sistem yang kaku, dari budaya yang terlalu lama membiarkan cinta dikorbankan atas nama kehormatan keluarga.

Namun Buya Hamka tidak menuliskannya untuk menyulut amarah, melainkan untuk menyalakan perenungan. Ia ingin pembaca bertanya pada diri sendiri: sampai kapan kita akan membiarkan cinta menjadi korban adat?

Salah satu keistimewaan novel ini terletak pada gaya bahasanya yang halus dan penuh nuansa religius.

Hamka menulis dengan jiwa yang tenang, seperti seorang guru spiritual yang bercerita, bukan untuk menggurui, tetapi untuk mengajak merenung. Ia menanamkan nilai-nilai Islam dengan cara yang sangat manusiawi—tanpa tekanan, tanpa vonis.

Tokoh-tokohnya bukan malaikat, tapi juga bukan makhluk durjana. Mereka manusia biasa yang mencoba bertahan dalam arus besar nilai sosial yang mengekang.

Cinta dalam novel ini tidak mencari kepemilikan. Tidak ada tuntutan, tidak ada janji untuk bersama selamanya. Justru dalam ketulusan dan pengorbanan, cinta mereka tumbuh menjadi sesuatu yang agung. Hamid tidak pernah meminta Zainab untuk menunggu.

Bahkan ketika tahu Zainab akan dijodohkan, ia tidak marah, tidak mengutuk takdir. Ia justru memilih mendoakan dari jauh, menahan seluruh luka di dada dengan sabar.

Cinta semacam ini langka, bahkan dalam dunia modern yang mengagungkan kebebasan memilih. Ia adalah cinta yang dibalut iman, bukan nafsu. Ia adalah pengorbanan, bukan tuntutan.

Melalui kisah ini, Hamka juga menyentil sistem sosial yang timpang. Ia menunjukkan bahwa pendidikan, kesalehan, dan akhlak yang baik tidak cukup untuk menaikkan derajat seseorang bila ia terlahir dalam kemiskinan.

Di sisi lain, mereka yang berada di atas sering kali merasa berhak menentukan jalan hidup orang lain, seolah harta memberi kuasa atas cinta dan kebahagiaan.

Kritik sosial ini disampaikan dengan lembut, tanpa slogan atau agitasi, tapi terasa menggigit bagi siapa saja yang peka. Meski ditulis hampir seabad lalu, pesan moral dari Di Bawah Lindungan Ka'bah masih sangat relevan.

Dunia hari ini masih menyaksikan cinta-cinta yang dikorbankan karena perbedaan status sosial, latar belakang budaya, bahkan suku atau agama.

Kita masih hidup dalam masyarakat yang kadang lupa bahwa nilai manusia ditentukan oleh akhlaknya, bukan warisan keluarganya.

Dalam dunia yang kian keras, nilai-nilai kesetiaan, keikhlasan, dan penyerahan diri seperti yang ditunjukkan Hamid dan Zainab adalah sesuatu yang langka dan berharga.

Maka, ketika kita membaca Di Bawah Lindungan Ka'bah bukan hanya menikmati kisah klasik, tetapi juga merenungi nilai-nilai hidup yang hakiki.

Hamka mengajak kita untuk memahami bahwa tak semua cinta harus dimiliki untuk menjadi nyata. Ada cinta yang cukup dihayati, dijaga dalam diam, dan diletakkan dengan tulus di bawah lindungan Ka'bah tempat di mana semua doa dikembalikan kepada Sang Pemilik Takdir.

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei

Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA