Dalam sistem demokrasi, partai politik semestinya menjadi jembatan kokoh antara rakyat dan negara, menjamin bahwa suara-suara kecil di pelosok negeri mendapat tempat dalam pengambilan keputusan nasional.
Namun, kenyataan kerap jauh dari harapan. Alih-alih menjadi wakil rakyat, partai politik seringkali berubah menjadi alat transaksi kekuasaan.
Kebijakan publik yang idealnya lahir dari kebutuhan masyarakat, justru terlalu sering dibentuk oleh kalkulasi politik, negosiasi kursi, dan kepentingan elektoral jangka pendek.
Pertanyaannya pun mengemuka: apakah negara ini benar-benar dijalankan untuk rakyat, atau hanya untuk elite yang mengklaim berbicara atas nama rakyat?
Fenomena ini begitu nyata terasa saat momen pemilu tiba. Rakyat mendadak menjadi komoditas yang diperebutkan, menjadi pusat perhatian dengan segala janji manis yang ditebar di udara.
Kampanye-kampanye dipenuhi narasi keberpihakan, seolah rakyat adalah tujuan utama dari perjuangan politik.
Namun begitu kotak suara ditutup dan kursi-kursi kekuasaan mulai dibagi, suara rakyat kembali tenggelam dalam riuhnya transaksi politik.
Realitas ini mengingatkan kita pada pernyataan ilmuwan politik Amerika Serikat, Larry Diamond, yang menyebut bahwa "demokrasi bisa berubah menjadi ilusi ketika elite politik menggunakan prosedur demokratis hanya untuk melanggengkan kekuasaan mereka."
Contoh paling kasat mata dari politisasi kepentingan adalah pembentukan kabinet. Alih-alih mengedepankan prinsip meritokrasi dan visi kebangsaan, kursi-kursi kementerian kerap kali diberikan sebagai bentuk balas jasa politik.
Mereka yang duduk di posisi strategis bukan selalu yang paling cakap, melainkan yang paling berjasa dalam mendukung pemenangan pemilu.
Praktik semacam ini tidak hanya mencederai integritas institusi pemerintahan, tetapi juga mengancam efektivitas kebijakan yang dihasilkan.
Kebijakan pun terancam menjadi instrumen politik, bukan sarana pelayanan publik.
Kebijakan yang didasari oleh kepentingan politik semata sering kali tampak pragmatis, namun minim visi jangka panjang.
Program-program seperti bantuan sosial, misalnya, kerap dijadikan alat pencitraan menjelang pemilu.
Bukan berarti bantuan tersebut tidak penting, namun ketika semangat di baliknya hanya sebatas meraup dukungan, maka tujuan awalnya kehilangan makna.
Rakyat diberi bantuan, tapi tidak diberi daya. Diberi jalan, tapi tidak dijamin kesejahteraannya.
Seperti yang pernah disampaikan oleh ekonom India peraih Nobel, Amartya Sen, "pembangunan bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, melainkan tentang memperluas kebebasan nyata yang dinikmati oleh rakyat."
Jika kebijakan tidak membuka akses pada pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja yang adil, maka ia gagal memenuhi tujuan pembangunan yang hakiki.
Rakyat Indonesia sesungguhnya tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin hidup yang layak, pendidikan bermutu bagi anak-anaknya, layanan kesehatan yang bisa diakses tanpa harus menjual harta, serta pekerjaan yang memberikan rasa aman.
Sayangnya, harapan-harapan sederhana ini terlalu sering dipinggirkan oleh kepentingan politik yang lebih sibuk menjaga koalisi ketimbang menyelesaikan masalah mendasar bangsa.
Kebijakan populis memang tampak menarik di permukaan, namun tanpa konsistensi dan komitmen jangka panjang, ia hanya menjadi gula-gula politik yang cepat larut.
Sudah saatnya pemimpin dan partai politik di negeri ini berani melampaui logika transaksional. Kita butuh pemimpin yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai poros utama dari setiap keputusan yang diambil.
Kepemimpinan moral, bukan sekadar ketangkasan politik. Partai politik juga harus mentransformasi diri, dari sekadar mesin elektoral menjadi lembaga yang mendidik warga, mencetak kebijakan berkualitas, dan menjadi wadah pertarungan gagasan.
Demokrasi tidak akan tumbuh sehat jika partai hanya menjadi alat pengumpul suara, bukan pendorong kemajuan bangsa.
Tentu saja, perubahan ini tidak bisa hanya dibebankan kepada elite. Rakyat pun harus ikut bertanggung jawab.
Kita tidak bisa terus-menerus menjadi penonton pasif yang hanya menyaksikan panggung politik dari kejauhan. Kesadaran kolektif harus tumbuh, bahwa setiap suara, setiap pilihan, punya konsekuensi yang nyata terhadap arah kebijakan negara.
Saatnya rakyat menolak politik pencitraan, dan mulai menuntut akuntabilitas.
Jika demokrasi ingin tetap bermakna, maka kebijakan publik harus kembali kepada pangkalnya: kepentingan rakyat.
Bukan sekadar slogan dalam baliho kampanye, tetapi menjadi prinsip hidup dalam setiap tindakan pemimpin. Butuh keberanian untuk menolak kompromi yang melemahkan idealisme, dan membangun politik yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Sebab jika tidak, demokrasi akan terus melahirkan pemerintahan yang hanya melayani elite, sementara rakyat hanya menjadi legitimasi yang dilupakan begitu suara mereka tidak lagi dibutuhkan.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi