Pemerintahan Prabowo Subianto yang baru saja terbentuk tidak membuang waktu untuk menggulirkan berbagai program andalan yang sebelumnya dijanjikan dalam kampanye.
Salah satu program yang menyita perhatian publik adalah “Koperasi Merah Putih”, sebuah inisiatif ekonomi yang digadang-gadang menjadi alat pemberdayaan rakyat dan penyelamat kedaulatan ekonomi nasional.
Namun, program ini tak luput dari sorotan tajam, termasuk dari media kritis seperti Tempo, yang mengangkat sejumlah pertanyaan: Apakah ini solusi nyata atau sekadar manuver politik dengan bungkus nasionalisme ekonomi?
Koperasi Merah Putih diusung sebagai motor penggerak ekonomi rakyat dengan pendekatan gotong royong dan kemandirian.
Pemerintah menyebut koperasi ini sebagai wadah alternatif bagi masyarakat kecil untuk bisa terlibat langsung dalam rantai ekonomi, dari hulu ke hilir.
Fokusnya menyasar sektor-sektor strategis seperti pangan, energi, dan distribusi barang kebutuhan pokok.
Prabowo, dalam berbagai pidatonya, menekankan bahwa koperasi ini adalah wujud dari ekonomi Pancasila.
Program ini diposisikan bukan hanya sebagai strategi ekonomi, tetapi juga sebagai alat perjuangan untuk membangun kembali semangat kolektif dan nasionalisme yang selama ini dianggap luntur akibat dominasi korporasi besar dan modal asing.
Namun, ketika ide yang tampak mulia ini mulai dijalankan, kritik mulai bermunculan. Salah satu yang paling tajam datang dari Tempo, yang mempertanyakan kejelasan struktur organisasi koperasi, transparansi pendanaan, dan potensi program ini dijadikan alat patronase politik.
Dalam salah satu artikelnya, Tempo menyebut Koperasi Merah Putih sebagai "proyek jumbo tanpa arah yang jelas." Kritik ini tak sepenuhnya tidak berdasar.
Program ini digerakkan langsung oleh tokoh-tokoh yang sangat dekat dengan lingkaran kekuasaan Prabowo, namun tanpa pelibatan yang signifikan dari para pelaku koperasi konvensional, akademisi, atau praktisi ekonomi kerakyatan.
Tempo juga menyoroti kecenderungan program ini yang terlalu sentralistik dan berpotensi mematikan inisiatif koperasi yang sudah lebih dulu ada di tingkat lokal.
Alih-alih memperkuat koperasi-koperasi kecil yang telah eksis, pemerintah justru membangun entitas koperasi baru dari atas, dengan dukungan negara dan potensi akses istimewa ke APBN.
Ini menciptakan kekhawatiran tentang terciptanya “super koperasi” yang monopolistik dalam praktiknya, dan jauh dari semangat koperasi yang sesungguhnya: demokratis dan partisipatif.
Kekhawatiran lainnya adalah terkait pembiayaan. Program ini konon akan dibiayai oleh penyertaan modal negara, sinergi BUMN, dan kerja sama dengan pihak swasta.
Namun hingga kini, belum ada transparansi mengenai struktur keuangan koperasi tersebut. Jika koperasi ini dikelola secara tertutup dan hanya menjadi perpanjangan tangan elite politik tertentu,
maka dikhawatirkan koperasi justru menjadi alat pencitraan dan konsolidasi politik, bukan alat pemberdayaan rakyat.
Tak bisa dipungkiri, Koperasi Merah Putih menggunakan narasi yang sangat nasionalistik. Nama “Merah Putih” sendiri adalah simbol yang kuat, seolah mengasosiasikan koperasi ini sebagai bagian dari perjuangan bangsa.
Namun, pertanyaan pentingnya adalah: Apakah substansinya sekuat simbolnya?
Dalam praktiknya, koperasi bukan hanya soal jargon atau simbol.
Koperasi membutuhkan pendidikan anggota, partisipasi aktif, serta manajemen yang transparan dan profesional.
Jika koperasi dibentuk hanya sebagai proyek pemerintah tanpa partisipasi warga, maka nilai-nilai koperasi sejati justru akan hilang.
Koperasi tidak bisa dijalankan seperti BUMN atau lembaga vertikal pemerintah yang dikendalikan dari pusat.
Jika prinsip ini diabaikan, maka Koperasi Merah Putih hanya akan menjadi “koperasi” dalam nama, tapi “korporasi” dalam struktur.
Potensi dan Harapan
Meski kritiknya tajam, tak sedikit pula yang melihat potensi besar dalam program ini. Jika benar-benar dikelola secara partisipatif dan profesional, koperasi ini bisa menjadi katalis untuk membangun ekonomi yang lebih merata.
Dalam konteks ketimpangan yang makin lebar, model koperasi bisa menjadi jawaban untuk menciptakan inklusi ekonomi.
Namun kuncinya adalah transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan terhadap kritik.
Pemerintah harus membuka ruang dialog dengan pelaku koperasi rakyat yang telah berjuang lama dalam sunyi.
Jangan sampai koperasi rakyat yang murni justru dikalahkan oleh koperasi negara yang sarat dengan kepentingan politik.
Ujian Kepemimpinan Prabowo
Program Koperasi Merah Putih adalah ujian awal bagi Presiden Prabowo untuk membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar pemimpin retoris, tapi juga eksekutor kebijakan yang memahami dinamika di lapangan.
Kritik dari media seperti Tempo adalah alarm sehat dalam demokrasi: pengingat bahwa kekuasaan harus selalu diawasi, bahkan ketika mengusung nama besar seperti “Merah Putih.”
Jika Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin transformasional, ia harus menunjukkan bahwa program ini bukan sekadar proyek politik, melainkan warisan kebijakan ekonomi kerakyatan yang betul-betul berpihak pada rakyat kecil.
Dan untuk itu, transparansi, partisipasi, dan integritas adalah syarat mutlak. Tanpa itu semua, Koperasi Merah Putih hanya akan menjadi catatan kaki dari daftar panjang proyek ambisius yang gagal memahami realitas rakyat.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi