Bayangkan kita berada di atas kapal besar, siap berlayar menuju “Indonesia Emas 2045”. Peta sudah digenggam, awak kapal berlimpah oleh keberadaan anak-anak muda produktif dan angin sejarah sedang bertiup kencang mendukung. Namun alih-alih mengarahkan kompas ke arah teknologi dan ilmu pengetauan, para nakhoda justru sibuk menatap langit membaca tanda-tanda surga. Begitulah gambaran sistem pendidikan kita hari ini, terlalu religius, terlalu dogmatis dan salah arah. Sepertinya obsesi surga mengalahkan sains dan teknologi.
Negara ini memimpikan kemajuan pesat saat genap 100 tahun merdeka. “Indonesia Emas 2045” adalah mimpi kolektif yang bertumpu pada bonus demografi ketika sebagian besar penduduk berada dalam usia produktif. Namun sayang, sistem pendidikan kita justru tidak menyiapkan generasi yang siap bersaing dalam revolusi industri melainkan generasi yang siap menghadapi kiamat.
Kita mulai menyaksikan fenomena aneh, banyak kampus bahkan yang berbasis teknologi dan kedokteran sekarang memberi karpet merah bagi jalur “hafiz Qur’an”. Mereka yang hafal kitab suci bisa diterima tanpa perlu bersaing secara akademis. Pertanyaannya sederhana, apa hubungan hafalan ayat dengan kemampuan rekayasa genetika, software engineering atau riset biomedis?
TALIBANISASI PENDIDIKAN
Jika sejak pendidikan dasar sudah diarahkan untuk menghafal bukan menganalisis maka jangan heran bila nanti generasi kita bukan menjadi kreator teknologi melainkan hanya komentator di grup WhatsApp. Jangan berharap mencetak generasi seperti Jepang bila yang kita siapkan justru lebih mirip madrasah ala Thaliban tanpa eksperimen.
Pendidikan kita perlahan terjebak dalam talibanisasi pola pikir. Sekolah dan kampus lebih sibuk dengan kegiatan keagamaan ketimbang literasi digital atau sains terapan. Fokusnya bukan pada kompetensi abad ke-21 melainkan pada kompetisi siapa paling saleh di atas kertas.
Padahal dunia bergerak cepat. Dr. Luthfi Assaukani, guru besar Paramadina, dalam catatan perjalanannya ke Jerman menyebut, ada lebih dari 100 ribu lowongan kerja kosong di Jerman karena tidak ada tenaga muda yang punya skill memadai, bukan ijazah, tetapi keahlian nyata di bidang engineering, computer science, kesehatan, dan marketing.
Anak beliau yang lulus dari universitas top di Jerman tidak ditanya ijazah ketika wawancara kerja tapi diuji langsung kemampuan logika dan coding-nya. Hanya segelintir yang lulus. Ini standar global.
Bandingkan dengan Indonesia. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak diserap pasar kerja. Bukan karena tidak ada lowongan tetapi karena tidak punya skill yang relevan. Ironisnya, semakin banyak lulusan “ahli akhirat” dibanding “ahli algoritma”.
RELIGIUS TAPI KORUPSI
Indonesia sering disebut sebagai bangsa religius. Tapi anehnya kasus korupsi, kekerasan seksual, hoaks dan intoleransi begitu tinggi. Ada paradoksal di sini bahwa, religiusitas tidak otomatis melahirkan integritas. Pendidikan yang menekankan hafalan tanpa nalar hanya menciptakan kemunafikan kolektif. Taat secara simbolik tetapi rapuh secara moral.
Kampus kita kini banyak mencetak “ahli surga”, bukan ilmuwan, bukan teknokrat, bukan kreator teknologi. Jika ini terus berlangsung maka Indonesia Emas akan tinggal impian, bukan kenyataan. Karena dunia masa depan tidak menunggu mereka yang fasih ceramah tetapi yang fasih menulis kode, merancang energi bersih dan menciptakan teknologi baru.
DOGMA Vs DAYA CIPTA
Mari kita jujur. Sistem pendidikan kita sedang salah haluan. Kita tidak anti agama. Tapi kita menolak pendidikan yang mengganti sains dengan surga, mengganti logika dengan dogma. Kalau bangsa ini ingin maju maka pendidikan harus berpijak pada realitas zaman.
Jika tidak, bonus demografi akan berubah menjadi bencana demografi. Ledakan anak muda yang religius tapi tidak produktif, saleh tapi tidak kompeten. Maka cita-cita menjadi negara maju tinggal angan-angan. Kita hanya akan menjadi bangsa yang piawai mengaji tapi gagal menciptakan teknologi untuk memperbaiki hidup umat manusia.
Kita sedang membangun pembangkit nuklir tapi tenaga ahlinya justru dari kalangan yang lebih mahir membaca tafsir ketimbang manual reaktor. Ini bukan lelucon, ini kenyataan yang harus segera dikoreksi.
Mari kita ubah arah. Pendidikan tidak boleh lagi jadi jalan pintas menuju surga, melainkan jalan panjang menuju peradaban. Karena bangsa besar dibangun oleh ilmuwan, bukan oleh pendakwah.
“Jika kita ingin melihat masa depan bangsa lihatlah kurikulum pendidikannya hari ini.”
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi