x
x

Idul Fitri Bukan Sekedar Perayaan Kemenangan

Rabu, 02 Apr 2025 14:39 WIB

Reporter : Redaksi

Idul Fitri bukan sekedar perayaan kemenangan setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan. Idul Fitri mengandung makna spiritual mendalam, yaitu kembalinya manusia pada fitrahnya kesucian yang hakiki.

Dalam kajian Islam, makna ini berakar pada pemurnian jiwa yang telah ditempa selama Ramadan. Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Ghazali, seorang cendekiawan Muslim terkemuka, "Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, melainkan menahan diri dari segala sesuatu yang dapat mengotori hati dan pikiran."

Ramadan Sebagai Jalan

Selama Ramadan, umat Islam berlatih untuk menahan hawa nafsu, mendekatkan diri kepada Allah, serta meningkatkan ibadah dan kepedulian sosial. 

Imam Ibn Qayyim al-Jawziyya menyebut Ramadan sebagai "sekolah jiwa" yang membentuk karakter manusia agar lebih bertakwa.

Melalui proses ini, manusia berusaha mencapai kesucian yang mendekati keadaan fitrah sebagaimana ia diciptakan.

Fitrah dalam Islam merujuk pada kondisi suci dan bersih, sebagaimana manusia lahir ke dunia tanpa dosa.

Rasulullah SAW bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah." (HR. Bukhari dan Muslim). Idul Fitri adalah momentum kembalinya seorang Muslim kepada keadaan ini, dengan hati yang bersih dan jiwa yang penuh ketakwaan.

Kebersihan jiwa yang diperoleh selama Ramadan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk hubungan sosial.

Oleh karena itu, sebelum Idul Fitri, umat Islam diwajibkan membayar zakat fitrah. Perintah ini mengajarkan bahwa kesucian spiritual harus berdampingan dengan kepedulian terhadap sesama.

Seperti yang dikatakan oleh Sayyid Qutb, "Ibadah dalam Islam tidak hanya dimaksudkan untuk hubungan individu dengan Tuhan, tetapi juga harus berdampak pada kehidupan sosial."

Idul Fitri juga menjadi momen mempererat hubungan antarsesama.

Tradisi saling bermaafan menunjukkan bahwa kebersihan hati tidak hanya ditujukan kepada Allah tetapi juga kepada sesama manusia.

Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, menekankan pentingnya hubungan sosial dalam membentuk peradaban yang harmonis.

Idul Fitri, dengan tradisi saling bersilaturahmi, mencerminkan bagaimana Islam menyeimbangkan aspek spiritual dan sosial.

Salah satu tantangan terbesar bagi seorang Muslim adalah mempertahankan kesucian hati setelah Idul Fitri. Ramadan telah berlalu, tetapi nilai-nilai yang ditanamkan seharusnya tidak luntur.

Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Adab al-Dunya wa al-Din mengingatkan bahwa ujian sejati bukanlah bagaimana kita beribadah di bulan suci, tetapi bagaimana kita mempertahankannya setelah Ramadan usai.

Idul Fitri bukanlah akhir dari perjalanan spiritual, melainkan awal dari komitmen baru untuk menjaga ketakwaan.

Seperti yang dikatakan oleh Buya Hamka, "Idulfitri bukanlah tentang baju baru, tetapi tentang hati yang baru." Dengan demikian, hakikat Idulfitri bukan hanya perayaan, tetapi juga refleksi tentang bagaimana kita menjalani kehidupan setelah Ramadan.

Idul Fitri mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukanlah menahan lapar dan dahaga semata, tetapi bagaimana seseorang mampu mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.

Dengan meneladani pemikiran tokoh-tokoh Muslim seperti Al-Ghazali, Ibn Qayyim, Sayyid Qutb, dan Buya Hamka, kita memahami bahwa Idulfitri bukan hanya selebrasi, tetapi juga awal dari perjalanan panjang menuju kebajikan yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, Idul Fitri bukan hanya tentang kembali ke fitrah dalam arti kesucian diri, tetapi juga tentang bagaimana kita mempertahankan kesucian itu dalam kehidupan sehari-hari.

Momen ini adalah pengingat bahwa Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang terus berlanjut dalam kehidupan seorang Muslim.

Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

                         

Editor : Redaksi

LAINNYA