Puasa merupakan tradisi yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia jauh sebelum masuknya agama-agama besar seperti Islam, Kristen, dan Hindu-Buddha. Praktik berpantang makan, minum, dan kebutuhan biologis ini tidak hanya terkait dengan aspek keagamaan, tetapi juga menjadi bagian dari ritual sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Nusantara.
Jejak sejarah menunjukkan bahwa tradisi puasa telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak masa pra-Hindu-Buddha, berkembang pesat dalam pengaruh agama-agama besar, hingga terus lestari di era modern. Sebelum pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Nusantara telah memiliki tradisi kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam tradisi ini, puasa dipraktikkan sebagai bagian dari ritual penyucian diri sebelum melaksanakan upacara adat atau meminta restu kepada leluhur.
Sejarawan Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (2004) menyebutkan bahwa puasa dalam kepercayaan animisme Nusantara dilakukan sebagai bentuk pembersihan diri sebelum seseorang melakukan hubungan spiritual dengan roh leluhur atau saat menghadapi peristiwa penting seperti musim tanam dan panen.
Praktik ini menunjukkan bahwa konsep puasa sudah dikenal sebagai sarana mendekatkan diri pada kekuatan supranatural jauh sebelum pengaruh agama-agama besar masuk. Selain itu, dalam tradisi suku-suku tertentu di Nusantara seperti suku Baduy di Banten dan suku Dayak di Kalimantan, praktik berpantang makanan atau puasa juga dikenal dengan istilah "tapa" atau "semedi."
Tradisi ini dilakukan untuk mendapatkan kekuatan spiritual atau memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa.
Pengaruh Hindu-Buddha
Masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Nusantara pada abad ke-4 M semakin memperkaya tradisi puasa. Dalam ajaran Hindu, puasa dikenal sebagai Upawasa, yang berarti menahan diri dari makan dan minum pada hari-hari tertentu seperti Ekadasi atau Nyepi.
Sementara dalam ajaran Buddha, puasa dilakukan pada hari-hari Uposatha, yaitu setiap tanggal 8, 14, atau 15 dalam penanggalan lunar. Sejarawan Dr. Peter Carey dalam wawancaranya dengan Kompas (2020) menjelaskan bahwa puasa dalam tradisi Hindu-Buddha di Nusantara tidak hanya berfungsi sebagai ritual penyucian diri, tetapi juga sebagai bentuk disiplin spiritual bagi para pertapa dan biksu.
Tradisi ini kemudian diadaptasi oleh masyarakat biasa dalam bentuk pantangan makanan tertentu selama upacara keagamaan. Pengaruh Hindu-Buddha ini masih terlihat hingga kini, misalnya dalam tradisi Nyepi di Bali, di mana umat Hindu berpuasa dan menahan diri dari aktivitas duniawi selama 24 jam sebagai bentuk penyucian diri.
Islam dan Puasa Ramadan
Kedatangan Islam ke Nusantara pada abad ke-13 membawa tradisi puasa Ramadan yang menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia. Islam memperkenalkan puasa sebagai ibadah wajib yang tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga sebagai sarana pengendalian diri, empati kepada kaum miskin, serta peningkatan ketakwaan.
Menurut Azyumardi Azra, puasa Ramadan dengan cepat diterima oleh masyarakat Nusantara karena konsepnya sejalan dengan tradisi puasa yang telah dikenal sebelumnya. Penyebaran Islam oleh para ulama Wali Songo juga menekankan bahwa puasa tidak hanya berfungsi sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sarana membangun solidaritas sosial di tengah masyarakat.
Dalam masyarakat Muslim tradisional seperti di Jawa dan Sumatra, puasa Ramadan sering kali disertai dengan tradisi lokal seperti Padusan (mandi besar sebelum puasa) dan buka bersama yang memperkuat solidaritas sosial.
Puasa Era Kolonial dan Modern
Pada masa kolonial, puasa tidak hanya menjadi bagian dari praktik spiritual, tetapi juga simbol perlawanan terhadap penjajah. Puasa digunakan sebagai bentuk disiplin diri dalam menghadapi penderitaan dan ketidakadilan. Banyak tokoh pergerakan nasional seperti Haji Agus Salim dan KH Ahmad Dahlan yang menekankan pentingnya puasa sebagai sarana penguatan mental dalam menghadapi penjajahan.
Dalam era modern, puasa tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak hanya dalam konteks agama, puasa juga diadopsi dalam berbagai bentuk seperti puasa mutih (dalam tradisi Jawa) hingga puasa sebagai metode detoksifikasi tubuh.
Sejarah peradaban bangsa Indonesia mengenal puasa menunjukkan bahwa praktik ini tidak sekadar ritual keagamaan, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual, sosial, dan budaya masyarakat Nusantara.
Dari tradisi animisme hingga agama-agama besar, puasa selalu menjadi sarana penyucian diri, pengendalian hawa nafsu, dan hubungan dengan kekuatan transenden.
Pendapat sejarawan seperti Azyumardi Azra dan Peter Carey memperkuat bahwa puasa telah menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia sejak zaman kuno. Dengan tetap lestarinya tradisi puasa dalam berbagai bentuk hingga saat ini, puasa menjadi simbol keberagaman dan spiritualitas yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Di tengah arus modernisasi, puasa tetap relevan sebagai sarana memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, dan spiritualitas yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi