Reporter : Rochman Arief
JATIMKINI.COM, Cerita tentang lingkungan seringkali dibingkai dari atas. Umumnya dari podium para pejabat, dari tebalnya halaman laporan kebijakan, atau ruang seminar ber-AC. Tapi ada cerita lain. Cerita yang lahir dari jalan-jalan kecil di kampong. Dari saluran air yang mampet, dari halaman rumah yang perlahan dihijaukan warga, dari ruang-ruang musyawarah RT dan RW yang mungkin tak pernah masuk headline media.
Cerita semacam itu dirangkum Edi Priyanto dalam bukunya Transformasi Permukiman: Kelola Lingkungan Berkelanjutan. Buku ini tak sedang menawarkan teori tentang lingkungan yang rumit atau konsep akademik yang kaku. Yang ditawarkan adalah pengalaman lapangan, suara dari keseharian warga, dari orang-orang yang selama ini nyaris tak terdengar.
“Setiap perubahan besar dalam sejarah umat manusia sejatinya tidak pernah dimulai dari gedung-gedung tinggi atau ruang rapat megah. Ia kerap bermula dari tempat-tempat kecil dan sederhana, dari hati-hati yang gelisah namun penuh keyakinan akan harapan,” tulis Edi di pengantar bukunya.
Edi merupakan seorang pegiat lingkungan yang tumbuh di tengah masyarakat kampong. Ia percaya bahwa solusi tentang lingkungan harus dimulai dari yang paling dekat, dari rumah, tetangga, RT dan RW. Transformasi Permukiman menjadi semacam kesaksian tentang bagaimana perubahan nyata bisa bergerak dari sudut-sudut kecil itu.
Buku ini disusun dalam enam bagian. Edi mengajak pembaca memahami bagaimana Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) bisa diterjemahkan ke level komunitas. Kisahnya bagaimana bank sampah menjadi pintu masuk membangun ekonomi sirkuler. Tak luput pula membentuk organisasi warga yang tak sekadar hidup, tapi berkelanjutan.
Di balik uraian itu, terselip kisah-kisah perjuangan komunitas yang kadang sederhana, kadang getir. Tentang warga yang bersepakat membersihkan got setiap minggu. Tentang ibu-ibu yang membangun sistem bank sampah dengan catatan manual. Tentang ruang-ruang musyawarah yang seringkali lebih hidup ketimbang pertemuan-pertemuan elite.
Buku ini bukan sekadar panduan, melainkan ajakan. Ajakan untuk percaya bahwa perubahan tentang lingkungan tidak perlu dimulai dari revolusi besar. Cukup dari langkah kecil. Cukup dari tempat kita berdiri hari ini.
Valent Hartadi, pendiri platform komunitas @rtrwnetwork, menyebut buku ini sebagai salah satu bacaan penting bagi pengurus RT, kader lingkungan, hingga para aktivis akar rumput.
“Buku ini mencerminkan lima fungsi strategis RT dan RW: sosial-kultural, edukasi, keamanan, pemberdayaan, dan kolaborasi digital,” kata Valent. Ia menilai peran RT dan RW dalam masyarakat modern jauh melampaui urusan administrasi kependudukan.
Yang menarik, buku ini tidak terjebak pada satu pendekatan. Ia menggabungkan nilai-nilai lokal, semangat gotong royong, pendekatan berbasis data, dan membingkainya dengan kerangka global SDGs. Tapi semua itu dijalankan dalam konteks yang sangat hiperlokal, berbicara tentang lingkungan di skala yang benar-benar dekat dengan warga.
Bagi banyak pembacanya, Transformasi Permukiman adalah cermin dan lentera. Cermin untuk berkaca: apakah lingkungan tempat kita hidup sudah dirawat? Dan lentera, untuk menerangi jalan-jalan kecil menuju perubahan yang kadang diabaikan.
Tentang lingkungan, buku ini mengajarkan bahwa kita tak perlu menunggu jadi pejabat, tak perlu menunggu jadi pakar. Sederhananya: perlu percaya bahwa satu kampung yang bergerak bisa mengubah satu kota. Dan banyak kampung yang bergerak bisa mengubah bangsa.
Editor : Rochman Arief