Jutaan rakyat berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara untuk menyerahkan mandat kepada seorang pemimpin yang dipercaya dapat membawa daerahnya menuju kemakmuran. Namun hari ini Indonesia kembali sial. Kepercayaan yang telah diberikan dengan penuh harapan dinodai oleh keputusan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, yang dengan penuh arogansi melarang kepala daerah dari partainya untuk mengikuti retreat nasional di Akademi Militer Magelang yang diampu Presiden Prabowo
Retreat ini bukan sekadar pertemuan seremonial namun upaya kolektif untuk menyamakan persepsi dan membangun keselarasan dalam membangun negeri. Dalam forum ini kepala daerah diharapkan dapat berkoordinasi secara efektif demi kepentingan nasional, bukan sekadar kepentingan sempit partai. Tetapi Megawati dalam sikap otoriternya memilih untuk menciptakan sekat-sekat kepartaian yang justru berbahaya bagi kepentingan rakyat.
Keputusan ini mencerminkan bahwa bagi Megawati, partai lebih utama daripada negara. Sikap ini semakin menegaskan bahwa PDIP bukanlah partai demokratis seperti yang selama ini mereka gaungkan. Jika benar mereka menjunjung demokrasi maka semestinya kepala daerah yang telah dipilih oleh rakyat diberi kebebasan untuk menjalankan tugas mereka sesuai dengan kepentingan bangsa. Bukan dikekang dengan instruksi sepihak yang berpotensi merusak harmoni kepemimpinan nasional.
BELA YANG SALAH
Lebih ironis lagi, di saat Mega menunjukkan ketegasannya kepada para kepala daerah, ia justru kekeh membela kader partainya yang bermasalah. Hasto Kristianto, sang Sekjen PDIP tengah terseret dalam kasus korupsi begitu juga dengan mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu beserta suaminya. Mega tampak gelap mata, betapa gigih membela yang salah.
Di hadapan kenyataan sekarang keputusan Megawati untuk membatasi ruang gerak kepala daerah PDIP semakin terlihat sebagai manuver politik yang sarat kepentingan pribadi maupun partai, bukan demi rakyat. Ternyata rakyat hanya dijadikan obyek sampiran.
Dalam sumpah jabatan, para kepala daerah berikrar untuk mengabdi kepada bangsa dan negara bukan kepada partai. Ketika sumpah itu diucapkan di hadapan Presiden, mereka merupakan bagian dari tim kolektif dalam membangun Indonesia. Maka sudah seharusnya partai tidak ikut campur dalam pengambilan keputusan mereka. Namun yang terjadi justru sebaliknya, PDIP masih ingin mencengkeram kendali seolah kepala daerah hanyalah boneka yang harus mengikuti titah ketua umum.
MENUTUP PINTU
Hari ini Indonesia berduka. Sebuah keputusan sempit telah mencederai kepercayaan rakyat. Keputusan yang bukan hanya menghalangi kepala daerah untuk menjalankan tugasnya secara independen tetapi juga menjadi simbol ketidaksiapan PDIP dalam menghadapi dinamika politik yang lebih luas.
Dalam situasi geopolitik yang bergerak cepat, komunikasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci dalam mempertahankan ketahanan nasional. Namun, dengan adanya larangan ini, Mega justru menutup pintu bagi kerja sama yang lebih produktif.
Keputusan ini juga menunjukkan perlawanan terbuka PDIP terhadap kebijakan Prabowo di awal pemerintahannya. Dalam masa transisi yang krusial, sinergi antara pusat dan daerah sangat dibutuhkan untuk memastikan program-program nasional berjalan dengan baik. Namun Megawati lebih memilih untuk mempertahankan ego politiknya daripada mendukung agenda yang lebih besar.
Oleh sebab itu hari ini rakyat perlu mengingat dan mencatat. Ketika Pemilu 2029 tiba, saatnya memberikan sanksi kepada PDIP. Saatnya rakyat menunjukkan bahwa mandat mereka bukan untuk dipermainkan. Demokrasi bukan hanya tentang pemilihan tetapi juga tentang akuntabilitas, pertanggung jawaban. PDIP harus menerima konsekuensi dari keputusan yang mereka buat. Kita perlu menggaungkan #Boikot_PDIP sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi yang telah mencederai kepercayaan rakyat.
Sial benar hari ini. Sial karena rakyat telah memberikan kepercayaan, namun kepercayaan itu dikhianati. Sial karena partai yang mengusung nama "demokrasi" justru bertindak otoriter. Indonesia memang sedang sial, tapi sial ini tidak boleh berulang. Saatnya rakyat mengambil sikap menyelamatkan demokrasi yang sejati.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi