Estafet kepemimpinan nasional Indonesia pada 20 Oktober 2024 menjadi tonggak sejarah yang menunjukkan kematangan demokrasi dan stabilitas politik negara. Dunia bergetar menyaksikan Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat dan mayoritas muslim, mampu menjalankan pemerintahan demokratis dengan baik.
Jika dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, sering kali menghadapi kesulitan dalam menjalankan sistem demokrasi dan tidak jarang diwarnai konflik kepentingan. Dalam hal ini Indonesia menunjukkan kemajuan berarti. Proses peralihan kekuasaan kali ini berbeda secara signifikan dibandingkan dengan momen-momen sebelumnya yang sering diwarnai ketegangan dan konflik.
Perlu menyimak catatan sejarah peralihan kekuasaan di Indonesia berawal dari Sukarno pertama kali memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak Indonesia merdeka pada 1945 dan baru berdaulat penuh lima tahun kemudian, pergantian presiden sering kali diwarnai ketegangan dan konfrontasi.
Perubahan kepemimpinan dari Sukarno kepada Suharto, menggunakan taktik "kudeta merangkak" dengan menimbulkan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kemudian Suharto beserta jajaran jenderal pendukungnya menerbitkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) untuk diteken oleh Sukarno. Sebuah langkah yang menandai peralihan kekuasaan yang penuh gejolak. Sebagai bagian dari strategi pemaksaan, angkatan bersenjata dilibatkan untuk mendukung Gerakan Mahasiswa 1966.
Suharto menjabat sebagai presiden selama 32 tahun. Meskipun dia awalnya melibatkan mahasiswa sebagai kekuatan untuk mengkudeta Sukarno, pada akhirnya sejarah mencatat bahwa kekuasaan Suharto sendiri berakhir melalui gerakan reformasi 1998, yang melibatkan mahasiswa dan campur tangan Barat melalui IMF yang menciptakan krisis ekonomi. Selain itu, juga terdapat tekanan dari kalangan bersenjata.
Setelah Suharto, Habibie menjadi presiden sementara hingga Pemilihan Presiden oleh MPR yang dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Namun kepemimpinan Gus Dur diakhiri oleh Ketua MPR, Amin Rais menggunakan Megawati sebagai anak wayangnya. Strategi kudeta merangkak ini berhasil menggantikan presiden secara paksa melalui campur tangan MPR.
Perubahan kepemimpinan melalui pemilihan langsung pertama kali terjadi pada 2004 dengan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas Megawati. SBY yang sebelumnya menjadi menteri kepercayaan Mega sebagai Menkopolkam.
Betapa marahnya Mega dikalahkan oleh "anak buahnya". Saking marahnya, bahkan Mega tidak menghadiri pelantikan presiden. Dendam itu dirawat Mega sampai detik ini hingga waktu tak mampu menyadarkan akan pentingnya memiliki sikap negarawan sumeleh.
SBY menjabat selama dua periode, jejak kesuksesan tersebut diikuti oleh Joko Widodo (Jokowi) berkat kemenangan pada pemilihan langsung melawan lawan yang sama, Prabowo Subianto, pada 2009 dan 2015.
Salah satu langkah bersejarah Jokowi adalah mengajak Prabowo, lawan politiknya yang kalah, untuk bergabung dalam pemerintahannya sebagai Menteri Pertahanan. Langkah ini menunjukkan kematangan politik Jokowi dan upayanya untuk memastikan kontinuitas dalam program-program strategis nasional, seperti hilirisasi sumber daya alam, serta mempersiapkan Indonesia menuju cita-cita Indonesia Emas pada 2045.
Dengan cara ini, estafet kepemimpinan nasional yang dilakukan oleh Jokowi merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah Indonesia berlangsung secara aman, rukun, dan damai, mencerminkan kemajuan dalam stabilitas politik dan demokrasi negara.
Penulis : Rokimdakas
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi