Konon, ilmu tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu bakal menjadi gila. Dua adagium yang berasal dari perenungan panjang para bijak semestinya menjadi rambu dalam hidup berbangsa. Namun di negeri bernama Indonesia, adagium ini justru kehilangan daya magisnya. Ia tidak memudar karena waktu tapi dihianati oleh mereka yang mengaku sebagai pewaris akal dan iman.
Pemerintahan Prabowo–Gibran baru saja menapaki bilah pertama anak tangga kekuasaan. Dalam istilah pertanian, masa ini belum cukup untuk menuai jagung bahkan batangnya belum kokoh berdiri. Namun kegaduhan sudah diciptakan, bukan oleh rakyat kecil yang kelaparan melainkan oleh mereka yang duduk nyaman di kursi empuk peradaban, yang menyebut diri sebagai intelektual dan agamis tapi lidahnya lebih tajam dari belati dan pikirannya lebih busuk dari got yang mampet di musim hujan.
Bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa tumbuh jika benih kedamaian terus-menerus diracuni oleh hasrat kekuasaan yang menyamar sebagai kritik? Bagaimana bisa akal sehat hadir jika suara-suara lantang justru berasal dari mereka yang kehilangan nurani?
Mari tengok angka. Sebanyak 56% rakyat Indonesia memberikan suara kepada presiden terpilih, lebih dari 96 juta suara sah. Ini bukan angka imajiner. Ini adalah fakta demokratis yang seharusnya dihormati. Tapi dua kandidat yang kalah yang sebelumnya bersumpah siap menang siap kalah ternyata hanya melafalkan sumpah palsu di panggung politik. Sumpah yang tak lebih dari gincu yang luntur begitu kamera mati.
PENISTA AGAMA
Kemunafikan para elit ini kemudian diturunkan seperti warisan kepada para pendukungnya, yang tak segan menebar isu busuk, membangkitkan kebencian, menyulut konflik antarwarga. Isu ijazah palsu, tuduhan pelanggaran etik, hingga usulan tak masuk akal untuk mencopot wakil presiden terpilih. Semua lahir dari ruang hampa moral. Mereka bukan sedang memperjuangkan keadilan tapi menyalakan bara dendam pribadi.
Yang menyedihkan, para pengobar api ini adalah produk kampus, pemilik gelar akademik, penulis buku, bahkan kerap muncul di mimbar-mimbar agama. Ada yang menyandang gelar profesor, doktor dan tokoh publik yang dulu dianggap “pembawa cahaya”. Namun cahaya mereka kini hanyalah pantulan semu, seperti sinar bulan yang memantul dari kaca retak. Nama-nama seperti Roy Suryo, Kurnia Tri Royani, Eggy Sudjana, Rismon Sianipar, Tifa, Amien Rais dan sejenisnya, di kala tertentu mungkin dikagumi namun kini justru menjadi cibiran.
Jika merujuk adagium, ilmu tanpa agama memang bisa buta. Tapi lebih ngeri lagi adalah ketika ilmu dan agama dipakai sebagai topeng untuk menutupi kejahatan. Maka jadilah mereka bukan sekadar buta, tapi juga tuli terhadap kebenaran, lumpuh moralnya dan gila kekuasaan.
Mereka yang selalu tampak sujud di tempat ibadah, melafalkan ayat dengan fasih, seharusnya paham bahwa agama bukan sekadar ritual. Agama adalah jalan kebenaran, kejujuran, dan kerendahan hati. Ketika agama dijadikan alat pencitraan maka mereka sejatinya telah menista agama lebih dalam daripada para atheis yang jujur terhadap keraguannya.
Politik dalam filsafat klasik adalah seni mengelola negara untuk kebaikan bersama. Dalam praktik idealnya, politik adalah kerja sama bukan sabotase. Kontestasi gagasan, bukan kontaminasi hoaks. Namun semua keindahan itu hancur ketika para “intelektual karbitan” menjadikan politik sebagai medan pelampiasan sakit hati.
Generasi muda yang seharusnya menjadi subjek pembelajaran demokrasi justru tumbuh dalam ketidakyakinan. Mereka melihat orang-orang berilmu ternyata bisa lebih biadab dari mereka yang tak pernah duduk di bangku kuliah. Maka jangan salahkan jika anak-anak muda kita lebih percaya pada meme dan konten TikTok daripada pidato politikus. Sebab mereka melihat dengan mata telanjang bahwa gelar tidak menjamin keluhuran.
Sejarah telah mengajarkan bahwa kekacauan sosial seringkali dimulai dari provokator yang merasa dirinya nabi kebenaran. Lihat bagaimana kekaisaran Romawi runtuh oleh intrik dari dalam. Lihat pula sejarah Orde Lama dan Orde Baru di mana suara-suara “pembela rakyat” ternyata hanya berujung pada kekerasan dan kerusakan moral.
Kini, rekayasa sosial yang dilakukan oleh para provokator kembali diulang. Tapi rakyat Indonesia yang tampak diam sejatinya sedang menyusun barisan keyakinan. Mereka tau bahwa, kezaliman dan kepalsuan hanya akan bertahan sesaat. Sejarah adalah penggilas waktu yang tak pernah lalai mencatat. Hukum akan berjalan dan pintu penjara sebagai simbol akhir dari kemunafikan telah bersiap menyambut para pengkhianat akal dan iman.
Mereka tidak akan mati sebagai martir, tidak mati sebagai pahlawan. Mereka akan mati secara perlahan, mati martabatnya, mati kariernya, mati hati nuraninya. Sebab mereka telah menggadaikan kehormatan ilmu dan kemuliaan agama untuk kekuasaan.
Akhirul kalam, para provokator ini adalah penista agama paling nyata. Bukan karena mereka berbeda keyakinan tapi karena mereka mengkhianati kebenaran yang diimani. Mereka bukan pembela demokrasi, bukan penjaga akal sehat. Mereka adalah penyusup, parasit dalam tubuh bangsa yang akan dibersihkan oleh waktu, hukum, dan kesadaran rakyat.
Seperti pepatah tua: “Jika keadilan terlambat datang, sejarah akan menulisnya dengan tinta kemarahan.”
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi