Begitu lebay orang-orang menyambut Ramadhan yang diyakini sebagai bulan untuk mensucikan diri dengan berpuasa selama sebulan. Namun realita politik maupun media sosial tampak kontradiktif dengan nilai-nilai Ramadhan. Hujat menghujat, saling fitnah tak kunjung surut pasca Pemilihan Presiden 2024. Kandidat yang kalah yang bangga memajang predikat 'haji' ternyata tidak patut disebut sebagai panutan apalagi menyiratkan nilai-nilai agama. Why?
Puasa merupakan momen spesial untuk mengolah jiwa raga agar kembali suci. Makna "kembali" yang dimaksud adalah membenahi dampak perjalanan hidup selama sebelas bulan sebelumnya yang kemungkinan besar melakukan banyak hal yang menyimpang dari nilai-nilai religi maupun spiritual. Kemudian Tuhan memberi waktu untuk menginstal ulang segala aplikasi yang merusak sifat kemanusiaan.
Sebagaimana komputer ketika diinstal tidak diperbolehkan untuk diaktifkan. Pun diri seseorang, selama puasa harus mengosongkan diri dari godaan nafsu, mewaspadai kehendak pikiran yang menyimpang dari nilai-nilai kebaikan dengan memperbanyak tindakan yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Untuk itu peran hati sebagai pengontrol pikiran harus difungsikan secara optimal. Begitu ada nafsu meletup maka hati harus segera memadamkan.
Bimbingan utama selama berpuasa adalah agar manusia menuhan. Karena Tuhan Maha Baik, Dia sangat menyukai segala kebaikan maka dari itu di saat bulan puasa gairah setiap orang hendaknya sebanyak mungkin melakukan kebaikan . Lantaran setiap orang beserta Tuhan maka bagi yang berbuat baik pada orang lain nilainya setara berbuat baik pada Tuhan. Demikianlah logika menuhan.
Namun apa yang kita saksikan setelah berlangsungnya Pemilihan Umum 2024, di saat kaum muslimin menjalankan ibadah puasa Ramadhan, perilaku politikus beserta buzzer dan pendukung kandidat presiden yang kalah justru bertolak belakang dengan nilai-nilai kebaikan sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Dorongan nafsu kekuasaan, kebrutalan berpolitik beserta segala sifat setan justru membuncah dominan. Sifat-sifat tersebut juga menyimpang dari filosofi haji.
Simbolisasi ritual haji yang diawali dengan pemotongan rambut sebagai makna bahwa apa yang tumbuh dari kepala yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan harus dipangkas. Tubuh yang telanjang dibungkus kain putih menandakan kesucian diri, dan selama menjalankan ritual haji tidak diperbolehkan membunuh apapun yang bernyawa. Sederet simbol penuh makna tersebut apakah dilakukan oleh para kandidat yang kalah dalam kontestasi politik yang di depan namanya dengan bangga menyertakan gelar haji?
Apakah tindakan mereka sesuai kehendak Tuhan?. Jangan-jangan mereka tidak sadar sedang dikendalikan setan?
Jawabannya ada pada kenyataan.
Ditulis oleh : Rokimdakas
Kanal Podium adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi