x
x

Lukisan Super Pakis, Paduan Mimpi dan Realita

Sabtu, 13 Jan 2024 18:31 WIB

Reporter : Rokimdakas

JATIMKINI.COM, Sepuluh tahun publik kehilangan jejak lukisan karya Supar Pakis. Sejak meninggal pada tahun 2013, karya Supar Pakis seperti tinggal kenangan, tidak ada penyelenggara pameran yang menampilkan karyanya. Baru ketika Galeri Filadelvia dibuka, lukisan Supar dihadirkan, kerinduan publik pada surealisme Supar serasa terobati.

“Pameran ini merupakan bentuk kerinduan pada Supar. Selama ini sering berlangsung pameran namun tidak ada yang menampilkan karyanya Supar,” tutur Freddy Wijaya, pemilik galeri Filadelvia di Citraland yang lokasinya dekat kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya. Sebanyak sepuluh lukisan berukuran jumbo menghiasi rumah pamer lantai bawah sedangkan lantai dua dihiasi karya Mozes Misdi.

Ketika melihat lukisan surealisme penonton kerap meraba-raba makna yang tersirat di atas kanvas. Dari sisi estetika, apa yang disajikan begitu elok namun kehendak penonton tidak berhenti pada keindahan semata, untuk itu terbuka ruang tafsir. Itulah keunikan lukisan surealisme yang menyajikan gambaran yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, pun surealisme Supar.

Pada karya “Golf 7” tampak dua sapuan tegak abu-abu menghimpit bidang kehijauan sebagai latar belakang bola golf yang menyita ruang kanvas, di depannya seekor angsa menoleh ke arah bola, dua butir telur tergeletak, di pojok kiri bawah ada potongan pohon pisang layu. Idiom yang disajikan semacam kolase, hadir tanpa keterhubungan satu sama lainnya.

Di alam nyata tentu tidak akan disaksikan suasana seperti itu namun oleh Supar kemustahilan itu diwujudkan menjadi keunikan tersendiri. Teknik penggarapan begitu matang serta pengolahan komposisi dan tata warna yang apik. Itulah salah satu dari sejumlah karya Supar Pakis yang menghiasi Galeri Filadelvia.

VIRUS SUREALIS

Mengamati lukisan karya Supar Pakis serasa diajak membaca proses penjelajahan simbol-simbol untuk menemukan ciri khas kekaryaan. Sebagaimana umumnya perupa selalu terpacu untuk menemukan karakteristik ciptaannya dengan tetap terikat oleh kaidah senirupa yang menjunjung keindahan. Supar mampu memenuhi kriterium tersebut. Sekali pandang orang akan teringat akan karyanya. Ingatan itu kadang hadir tanpa diundang, itu pertanda betapa kesan yang memancar dari lukisannya amat kuat. Itulah tolok ukur kesuksesan lukisan, indah, impresif.

Untuk menemukan karakteristik seorang pelukis melakukan pelbagai penjajakan mengolah obyek yang akan dijadikan simbol karya. Jangan ditanya tentang kegagalan yang dialami sebelum menemukan idiometik sesuai harapan. Tanpa kegagalan seniman tak akan menemukan simbol andalan, semacam hukum proses yang tak bisa terelakkan karena kegagalan merupakan keberhasilan yang tertunda. Siapa tabah berproses maka berhak meraih sukses.

Lahir dan tumbuh di kampung Pakis, Surabaya sejak 23 Desember 1964. Atas kebanggaannya pada ruang hidupnya berkembang lalu digunakan sebagai predikat popularitas, Supar Pakis. Di kalangan alumni senirupa IKIP Adi Buana Surabaya yang rerata berprofesi sebagai guru, Supar pun demikian, di sela kesibukannya mengajar dia gigih memproses diri sebagai pelukis yang berkiblat pada surealisme.

 

Eropa tahun 1924 heboh oleh adanya aliran senirupa baru di Paris, Perancis, yaitu Super-Realisme kemudian disebut 'sur-réalisme'. Corak lukisannya menyajikan kontradiksi antara mimpi dan realita dalam sebuah bidang. Wujudnya tidak realistis tetapi unik, suatu gambaran yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Suasananya seperti dalam mimpi atau alam bawah sadar kita.

Aliran baru itu menyebar ke seantero jagat. Setengah abad kemudian surealisme merambah Indonesia dan baru era 1980-an booming. Tidak terkecuali Supar, ‘virus’ surealisme menjangkiti dirinya hingga wafat di usia muda (49) tahun 2013. Ketika Supar beralih ‘kanvas’ karyanya abadi hingga kini.

MINIM GALERI

Sebagai kota metropolitan, keberadaan galeri senirupa Surabaya terbilang minim. Dua, tiga galeri pernah dihadirkan namun tak berumur panjang. Freddy yang memindahkan galerinya di Jakarta ke Surabaya menuturkan, kendala mengelola galeri adalah karena putus asa lantaran over estimate, prasangka yang berlebih atas keuntungan yang hendak diraih. Ketika targetnya tidak tercapai kemudian putus asa, galerinya ditutup.

“Saya tidak demikian, beserta anak dan istri merupakan pecinta seni, apa yang kami gelar di galeri maupun rumah benar-benar dinikmati dan dicintai. Kalau ada yang berminat mengoleksi silahkan jika tidak ada saya pun bersyukur karena akan tetap bisa bersama koleksi kesayangan. Tanpa kecintaan segala sesuatu akan putus di tengah jalan,” tutur Freddy berfalsafah. Dia juga mengelola galeri permata di Jakarta dengan nama yang sama, Filadelvia.

Editor : Ali Topan

LAINNYA