x
x

Seperti Ini Pemahaman K3 untuk Generasi Milenial

Selasa, 09 Jan 2024 09:24 WIB

Reporter : Rochman Arif

JATIMKINI.COM, Tantangan menciptakan budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di lingkungan kerja tidak mudah. Setidaknya dibutuhkan waktu dan cara penyampaian kepada pekerja yang saat ini rata-dipenuhi rata generasi milenial.

Wakil Dewan K3 Provinsi (DK3P) Jawa Timur, Edi Priyanto mengakui menciptakan budaya keselamatan kerja tidak mudah. Butuh effort, energi, dan waktu yang tidak singkat. Terlebih generasi saat ini jauh lebih kritis dibanding era sebelum-sebelumnya.

“Bicara K3 semua orang tahu. Mau selamat atau celaka, itu pilihan. Kenyataannya masih menjumpai perilaku berbahaya yang membuat celaka. Itu karena kurang pemahaman,” kata Edi Priyanto dalam dialog K3 di studio Jtv, Senin (8/1/2024) petang.

Ada beberapa aspek yang membuat K3 dianggap sebagai papan pengumuman. Edi menilai implementasi yang belum sejalan. Hal ini dubutuhkan komunikasi dua arah, di mana pengusaha memberi pemahaman untuk dilaksanakan pekerja.

“Orang tidak peduli kalau tidak paham. Kalau ada kepedulian, maka jadi tindakan dan perilaku. Inilah yang dituju. Memang tidak mudah, karena ada faktor lain,” Edi menambahkan.

Beberapa faktor yang dimaksud adalah komunikasi yang belum dua arah. Selain itu, tidak adanya sumber daya yang memadai, investasi, fasilitas, atau alat pelindung diri. Masih ditemukan perusahaan memandang K3 sebagai biaya, sehingga menjadi beban.

Hal yang tidak kalah penting adalah edukasi dan komunikasi kepada calon pekerja. Di saat ini Indonesia menghadapi bonus demografi yang membutuhkan strategi komunikasi baru kepada kepada calon pekerja.

“Harus ada komunikasi kekinian. Agar pekerja milenial yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, yang tidak mau menjadi mau. Kalau ada kepedulian, ini menjadi culture,” tegasnya.

Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Timur, Dwi Ken Hendrawanto membenarkan bahwa K3 adalah investasi. Namun sejauh ini masih dijumpai masih ada perusahaan yang masih menganggapnya sebagai beban.

“Belum semua (perusahaan) menyadari K3. Ada yang masih menganggapnya sebagai beban, bukan investasi. Utamanya perusahaan kecil menengah. Ini PR kita semua,” ungkap Dwi Ken.

Menciptakan dan membangun budaya K3 tidak bisa lepas dari UU 1/1970 yang mengatur keselamatan dan kesehatan di tempat kerja. UU yang sudah berumur 50 tahun ini belum banyak perubahan. Selain itu, masalah penyakit akibat kerja (PAK) kurang mendapat porsi dengan berbagai sebab.

“Jutru yang kurang mendapat porsi adalah PAK. Banyak perusahaan enggan mengakui. Padahal ini harus mendapat perlindungan,” tegas Kepala Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Disnakertrans Jatim, Tri Widodo.

Tri Widodo mengakui pembuktian penyakit akibat kerja butuh proses dan waktu. Sebab, tiap-tiap jenis usaha memiliki risiko berbeda. Hal ini juga kembali kepada kondisi kesehatan pekerja sejak awal masuk.

Editor : Rochman Arif

LAINNYA