Reporter : Rokimdakas
JATIMKINI.COM, Rekan-rekan yang mendampingi korban rudapaksa di Mojokerto hanya didasari rasa kemanusiaan semata untuk melawan kejahatan. Tim indigo dengan kesabaran ekstra berusaha menyelamatkan Mawar dari serangan roh-roh jahat yang dikendalikan cenayang bayaran dalang tajir.
Semula tim jurnalis yang mengikuti tim indigo mengira peristiwa yang menimpa Mawar merupakan tindak kriminal yang dilakukan oleh orang-orang bejat seperti kebanyakan kasus serupa. Namun dalam perkembangannya dimensi yang dirambah tim indigo maupun korban semakin melebar menyelami dimensi metafisis. Selain dirangsek roh jahat kadangkala Mawar dirasuki roh dari era Majapahit yang tidak terima atas penyiksaan yang menimpa anak turunnya.
Bukan saja roh jahat yang mentarget kematian korban namun roh yang mengaku sebagai leluhur dari Majapahit pun mengancam bakal menumpas penjahat sampai tuntas. Nama-nama legendaris memperkenalkan diri lewat penuturan Mawar seraya mengungkap garis keturunan masing-masing person pendamping korban beserta pengawal gaibnya. Ini liputan di luar nalar, di luar kaidah jurnalistik, namun membuka pemahaman tentang dunia gaib menjadi kian terbuka. Bahwa para leluhur masih perhatian pada kondisi anak turunnya.,
Hari Rabu, 03 Januari 2024. Usai melaksanakan sembahyang subuh, Mawar berdiam di atas tikar sambil menikmati secangkir teh hangat serta jajan pasar. Tetiba mulutnya komat kamit, biasanya gejala itu menandakan bakal kerasukan roh. Dua tangannya meremas jari-jari, pandangan matanya hampa.
SUDJONO SIGRA
Pagi itu Mawar melantunkan tembang macapat. Tim indigo sadar, bahwa yang masuk adalah roh leluhur Jawa.
Usai nembang macapat, roh bersuara lirih vibrasi suaranya serupa pria sepuh. Dia memperkenalkan diri sebagai Sudjono Sigra, abdi Raja Jenggala, Raden Inu Kertapati, tahun 1208.
"Rahayu Mbah..." sapa tim indigo serempak.
"Aku bukan Mbahmu. Aku abdi Raden Inu Kertapati tahun satu dua nol delapan (baca: 1208). Aku bertugas menyelamatkan dan mengarahkan anak cucu Majapahit yang salah arah karena diperdaya manusia. Ingatlah, ada Tuhan Yang Maha Segalanya. Jangan minta pertolongan pada manusia. Tapi minta tolonglah pada Tuhan, nanti leluhur akan membantu," suara Sudjono meluncur dari bibir Mawar, nadanya pelan mirip orang tua menuturi anaknya.
Sudjono menerangkan, "Kalian harus ingat pada Jumat (29/12/2023) siang saat di pertapaan Raden Wijaya, Pendopo Agung diperintah mengambil segenggam tanah dan mengambil air. Semestinya segera mandi dengan air itu dan balurkan tanah ke tubuh. Bila diperintah segera laksanakan sehingga Mawar tidak akan diganggu santet yang terus menerus menyakiti dia."
"Kalau pakai air dari Jolotundo, apakah boleh? Tadi malam kami mandi di kolam petirtaan Jolotundo, " kata salah seorang indigo.
"Tidak apa. Jolotundo itu petilasan Airlangga Raja Kahuripan. Masih dalam satu garis keturunan dengan Wijaya (maksudnya Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit, pen), " jawab Sudjana Sigra.
Mawar pun masuk kamar mandi dan membasahi badan dengan air Jolotundo beserta tanah dari Pendapa Agung, Trowulan.
Tak lama, tiba tiba Mawar melantunkan kembali tembang Macapat. Tim indigo mendobrak pintu kamar mandi, karena Mawar dalam kondisi tak bisa diajak bicara, tengah di bawah sadar.
Saat dipapah keluar kamar mandi, Mawar berjalan perlahan dengan langkah seperti puteri keraton yang menggerakkan telapak kaki satu per satu. Tangannya tergenggam di depan pusar.
"Sekarang pergilah ke sungai Brantas. Buanglah air dari Troloyo ke aliran Sungai Brantas supaya Mawar segera bertemu dengan Eyang Buaya Putih penunggu Sungai Brantas. Mawar akan diikuti Buaya Putih sebagai penjaga keselamatannya. Karena Melati telah dijaga oleh macan putih."
"Mawar dan Melati adalah sahabat serasi sebagaimana macan putih bersahabat dengan buaya putih. Aku titipkan mustika untuk Melati yang sekarang disimpan Mawar. Aku akan pulang ke tempat asal," pesan roh Sudjono sambil menghentakkan kaki kirinya tiga kali di tanah, sebagai perlambang undur diri dari sukma Mawar.
Ketika itu, Melati memang telah kembali bekerja di ibu kota, Jakarta. Sedangkan Mawar dan tim indigo masih di Tlatah Jenggala, Sidoarjo sebagai wilayah kekuasaan Raden Inu Kertapati saat mengendalikan kerajaannya.
BUAYA PUTIH
Mawar dan Tim Indigo bergerak ke tepi aliran Sungai Brantas. Air dari Troloyo dilarung ke sungai Brantas. Tak lama kemudian arus sungai bergerak kencang. Mawar bersimpuh di bibir sungai Brantas sambil menepuk paha kirinya.
"Aku Eyang Buaya Putih. Kalau perlu bantuan, tepuklah tiga kali paha kiri ini. Aku akan membantu kesulitanmu. Ingat .. ingatlah, tepuk tiga kali dan sebut namaku," pesan Sang Buaya Putih.
Cuaca di kawasan aliran sungai Brantas saat itu mendung gelap. Tapi belum ada tanda-tanda gerimis.
"Jangan takut air hujan. Hujan itu berkah dari Allah. Tunggulah Aku akan menampakkan pada kalian, tapi rasakan kehadiranku dengan perasaan. Sekarang aku akan pulang, " lanjut Eyang Buaya Putih dibarengi dengan arus sungai yang semula kencang kemudian melamban.
Tak berapa lama, bibir Mawar kembali komat kamit. Suaranya bergetar lantang. Lalu dia duduk dengan kaki methangkring mirip orang - orang di warung kopi.
"Aku Gandring, pengawal ke tujuh Raja Airlangga. Penyakit Mawar telah dilenyapkan semua. Tapi sampai di rumah kalian nanti harus mandi air kembang. Aku akan menampakkan diri dengan Eyang Buaya Putih dalam waktu sekejap diiringi air hujan. Pandanglah langit. Rasakan dengan perasaan kalian. Bila kami datang bersama rombongan Buaya Putih, ucapkan salam," kata Gandring.
"Apakah panjenengan Mpu Gandring, " tanya Tim Indigo.
"Bukan... Bukan Mpu Gandring. Namaku Gandring saja," katanya dengan suara lantang.
"Bagaimana ucapan salamnya? Apakah Wilujeng Rahayu? Atau Sugeng Rahayu? Atau Rahayu saja?" tanya tim indigo
"Yang benar Sugeng Rahayu, " Gandring menerangkan.
Kini Mawar yang memandu tim indigo menyambut kedatangan rombongan Eyang Buaya Putih dan Gandring.
"Lihat... Lihat... langit di sebelah utara itu. Rasakan dengan perasaan... Itu... Itu... Mereka datang... , " teriak Mawar kepada Tim Indigo sambil menunjukkan jarinya ke langit.
Sungguh fantastis. Rintik air hujan turun. Langit biru tak bergerak. Langit biru hanya jadi latar belakang panorama jagad raya.
Sedangkan latar depannya adalah langit tipis berkabut dan transparan, bergerak dari arah barat ke timur. Mirip sebuah layar lebar pada sebuah panggung besar yang berjalan dari kiri ke kanan. Rombongan Eyang Buaya Putih dan Gandring melintas sekejap berkendara kuda dan kereta kuda.
Tim indigo terperangah, kagum menyaksikan pemandangan yang tak pernah mereka jumpai sepanjang hidupnya. Sedangkan Mawar terlihat semakin tegar tanpa banyak berkomentar.
"Sudah... Ayo kita pulang, mandi kembang setaman. Lihatlah, langit sekarang sudah cerah bercahaya, " kata Mawar bergegas kembali ke rumah.
Ketika tim indigo sedang mandi, lagi-lagi Eyang Buaya Putih masuk ke dalam sukma Mawar, berpesan segera menemui Melati dengan macan putihnya.
Tim indigo melihat paha kiri Mawar terdapat "toh" berwarna putih serupa bentuk buaya.
"Ketika masih SD saya sering menyendiri di tepi sungai Brantas. Itu jika saya sedang merasa sedih. Sedih karena masa laluku hidup sengsara. Di pinggir sungai Brantas itu aku lihat ada buaya putih. Tapi aku diam saja, tidak mengganggunya juga tidak tau harus berbuat apa, " kata Mawar bercerita tentang kegetiran hidupnya
Tanpa membuang waktu, Mawar dan tim indigo bergegas meninggalkan Tlatah Jenggala menuju ibu kota menemui Melati.
Setelah menjalani semua ritual, kondisi Mawar tampak stabil. Tim indigo berasa lega, tak ada lagi gangguan dari serangan jahat roh-roh gentayangan yang dikendalikan cenayang.
Sebenarnya, siapakah Mawar?
( Bersambung )
Laporan Khusus : Rokimdakas
Editor : Ali Topan