JATIMKINI.COM, Kalau dipikir-pikir, apa saya salah lingkungan atau salah memilih pedoman? Selama masih jadi buruh pabrik kata-kata sayabselalu mecari "musuh" karena termakan anjuran "wartawan atau penulis harus mempunyai musuh, jika tidak ada ciptakan musuh, jika benar-bensr sudah tidak ditemukan jadikan dirimu sendiri sebagai musuh. Dengan begitu dirimu mempunyai semangat untuk menajamkan pikiran."
Jadi ingat sama Mas Willy - WS Rendra, saya mempunyai kenangan pada Si Burung Merak ini. Ketika masih jualan koran jaman SMP, majalah Aktuil sebelum berpindah ke tangan pelanggan saya habiskan membaca isinya. Seperti ulasan Orexas-nya Remy Sylado, puisi mbeling, beragam artikel musik manca; Black Sabbat, Frank Zappa, Jetro Tull, Suzi Quatro, David Cassidy, Deep Purple, Led Zeppelin, macem-macemlah. Salah satu poster yang saya simpan adalah foto WS. Rendra, masih tirus berambut gondrong berbaju ungu rada mbulak.
Mungkin saya termasuk dari sedikit penjual koran yang kemudian jadi wartawan. Nama koran, majalah serta peristiwa yang pernah viral di tahun 1970an masih tersimpan dalam memori. Kemudian belajar bekerja di pabrik kata-kata ketika cara lay out masih menggunakan huruf timah yang ditata satu per satu oleh tukang yang ketrampilannya sulit ditiru.
Sebagai buruh ingin mengadu akal dengan buruh lainnya. Bagaimana bisa memperoleh tulisan yang bagus. Suatu ketika ada info kalau Mas Willy sedang berada di Kota Batu. Entah ada acara apa? Lupa. Saya mengajak Jil Kalaran, sesama buruh bidang budaya, seni dan hiburan di pabrik yang sama untuk berburu narasumber bagus. Bonek aja. Uang transport cupet tidak masalah, toh banyak kenalan perupa di sana, bisa numpang tidur. Tapi kendalanya tranportasi ke Hotel Montana, tempat target menginap terlampau jauh.
Orang kalo sudah kepepet bisanya 'wani thok'. Saya temui menejer hotel, ngomong 'thok slorok blak kotang', terus terang aja, nggak pake gengsi-gengsialan, "Saya nggak punya uang untuk menginap tapi saya harus bisa wawancara dengan Mas Willy. Tolong saya dibantu untuk bisa istirahat, dimana saja nggak masalah Untuk makan saya beli di warung." Permohonan itu diamini lalu disiapin tempat tidur di salah satu kamar karyawan bagian belakang hotel.
Pagi. Sebelum Mas Willy muncul di loby, saya dan Jill sudah nyanggong. Ini modus, siapa tau ditawari breakfast, ternyata dugaanku nggak meleset. Selama tiga hari saya dan Jill merasa kuliah dua semester. Tangan sampai kemeng mencatat selain kudu bolak-balik ganti kaset C.90.
Narasumber sebobot Mas Willy kalau nggak ditawur sama teman jelas gak nutut pikiranku. Setelah liputan itu, butuh waktu lama untuk menyusun tulisan dengan format tanya jawab, dimuat satu halaman. Setelah terbit senenge masa'ala. Seneng karena waktu saya dianggap yang pertamakali menyajikan format tanya jawab di harian Surabaya Post, diawali wawancara dengan Gito Rollies dari tengah malam sampe subuh di Hotel Garden. Koreografer Tom Ibnur, sufi Jawa Profesor Damardjati Soepadjar, dan masih banyak nama yang saya buru untuk menyajikan tulisan bagus.
Pendeknya saya menempatkan teman sendiri sebagai kompetitor kekaryaan. Karena tulisan bagus honornya bagus pulak. Dalam penilaian, berita berdasar penugasan hanya dua poin, itupun jika tulisannya bagus tapi jika biasa-biasa saja nggak mampu menyuguhkan 'angle' menarik bisa-bisa zonk. Tapi kalau tulisan hasil inisiatif dan bagus bisa mengail nilai enam sampai delapan poin.
Salah satu lingkungan yang membuat saya menciptakan musuh adalah saat dines di Surabaya Post. Saya malah menempatkan teman-teman sendiri sebagai lawan untuk berkompetisi menyajikan tulisan bagus. Dari sekian bidang pemberitaan, yang saya tekuni adalah bidang kebudayaan, kesenian, entertainmen juga spiritual. Topik terakhir ini nyaris tidak ada yang tertarik, karena kosong lalu saya jeguri sekalian ngaji sama wong-wong sepuh, kyai kampung, mereka afala 'ublike ndonya' yang luput dari mata wartawan.
Rubrik Seni dan Hiburan didukung teman-teman yang sama-sama aktif di Sanggar Bengkel Muda Surabaya, seperti Sirikit Syah, Jill P Kalaran, selain ada Henry Nurcahyo dan Jacky Kussoy sedangkan redakturnya Syaiful Irwan. Bisa dibilang komandannya kalah pinter sama anak buahe yang sudah ngoyot berkesenian. Dengan begitu redakturnya tinggal ongkang-ongkang nggak perlu ngasih penugasan karena anak buahe sudah paham apa yang harus ditulis. Apalagi sesama teman bersaing bagus-bagusan isu dan tulisan.
Saya yakin masih banyak wartawan seperti itu di zaman profesi wartawan sudah tidak terpandang seperti dulu.
Saya masih yakin.
Editor : Redaksi