Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantam sejumlah besar media televisi nasional akhir-akhir ini menyisakan keprihatinan yang dalam, sekaligus menggambarkan perubahan zaman yang tak terbantahkan.
Kompas TV, TV One, CNN Indonesia TV, EMTEK Group, hingga MNC Group dan RTV semuanya terkena badai efisiensi dan konvergensi digital. Ratusan jurnalis, teknisi, dan staf produksi kehilangan pekerjaannya dalam hitungan bulan. Di tengah lanskap ini, satu pertanyaan besar menyeruak: ke mana arah media mainstream?
Yang jelas, media konvensional sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mereka dibentuk oleh tradisi jurnalisme yang kuat berpegang pada prinsip 5W + 1H, keberimbangan (cover both sides), serta kode etik wartawan.
Di sisi lain, mereka menghadapi tekanan yang luar biasa dari platform digital yang dinamis, cepat, dan berbasis algoritma.
Di platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram, muncul bintang-bintang baru dalam dunia penyampaian informasi: para content creator dan influencer.
Nama-nama seperti Deddy Corbuzier, Deni Sumargo, Melaney Ricardo, hingga dr. Richard Lee, bahkan figur politisi seperti Dedi Mulyadi, kini menjadi sumber informasi dan hiburan yang dikonsumsi jutaan orang setiap harinya.
Mereka berbicara langsung ke publik tanpa perlu melewati proses redaksional yang kompleks. Mereka mengatur sendiri narasi, gaya penyampaian, dan topik-topik yang dibahas.
Di sinilah terjadi pergeseran besar: media bukan lagi milik institusi, tapi individu. Namun, pergeseran ini bukan tanpa konsekuensi.
Masalah terbesar dari ledakan content creator adalah nihilnya standar jurnalistik. Banyak dari mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan komunikasi atau jurnalistik.
Mereka tidak terikat oleh kode etik wartawan. Mereka tidak memahami pentingnya verifikasi informasi, keberimbangan sudut pandang, atau dampak sosial dari narasi yang dibangun.
Akibatnya, kita berada di tengah era yang disebut sebagai post-truth era ketika kebenaran menjadi relatif, emosi lebih penting daripada fakta, dan persepsi lebih menentukan daripada realitas.
Inilah tantangan terbesar saat ini. Di satu sisi, publik semakin mengandalkan sumber-sumber informasi non-institusional.
Di sisi lain, kemampuan membedakan fakta dan opini kian menipis. Kebohongan bisa tampak seperti kebenaran hanya karena disampaikan dengan cara yang menarik atau viral.
Pendengung (buzzer) memperkeruh keadaan, menjadikan narasi sebagai alat politik, ekonomi, bahkan pembunuhan karakter.
Media mainstream yang dulu menjadi rujukan kini dipertanyakan, bahkan ditinggalkan.
Meski begitu, bukan berarti harapan telah sirna. Justru, di tengah badai ini, muncul peluang baru: jurnalisme digital yang beretika.
Para jurnalis profesional, yang kini mungkin kehilangan ruang di media mainstream, memiliki kesempatan besar untuk membangun media pribadi yang tetap berpijak pada etika dan nilai-nilai jurnalistik.
Mereka bisa menjadi content creator dengan karakter berbeda: bukan semata mengincar sensasi atau clickbait, melainkan mendidik publik dengan informasi yang benar, berimbang, dan mendalam.
Bayangkan jika para jurnalis berpengalaman mulai aktif di YouTube dengan program analisis berita yang jernih dan bebas hoaks.
Bayangkan jika mereka masuk ke TikTok dengan konten edukatif soal politik, ekonomi, atau hukum dengan cara yang ringan namun tetap akurat.
Bayangkan jika mereka menjadi influencer integritas—penyampai fakta di tengah keramaian opini.
Dengan begitu, mereka bukan hanya menyelamatkan karier jurnalistiknya, tapi juga menjaga warisan profesi dari kehancuran total.
Transformasi ini tentu membutuhkan penyesuaian. Dunia digital menuntut kecepatan, visual yang kuat, kemampuan storytelling, dan penguasaan teknologi.
Tapi semua itu bisa dipelajari. Yang tidak bisa digantikan adalah integritas, pengalaman, dan pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai jurnalistik. Justru itulah modal paling berharga untuk bersaing di era algoritma.
Perubahan zaman adalah keniscayaan. Media mainstream tidak runtuh semata karena kesalahan mereka sendiri, tapi karena ekosistem informasi global telah berubah drastis.
Konsumen informasi kini tidak lagi pasif, mereka aktif memilih dan menyaring sendiri apa yang ingin mereka percaya.
Maka, menjadi penting bagi kita untuk tetap menjaga kualitas informasi yang beredar. Dan itu hanya bisa dilakukan jika para jurnalis ikut mengambil bagian dalam ruang digital ini.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti memisahkan antara jurnalis dan content creator. Yang harus dipisahkan adalah mana yang etis dan mana yang tidak.
Dunia digital tidak mengenal batas institusi. Tapi publik masih mengenal siapa yang bisa dipercaya.
Masa depan media bukan di tangan perusahaan besar semata, tapi di tangan mereka yang bersedia menjaga kebenaran, di mana pun platformnya.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi