x
x

Kebebasan Pers dan Kehancuran Jurnalisme Indonesia

Sabtu, 19 Okt 2024 17:10 WIB

Reporter : Redaksi

Sejak runtuhnya Orde Baru tahun 1998, kebebasan pers di Indonesia telah mengalami lonjakan signifikan. Di tengah euforia kebebasan tersebut fenomena "yellow journalism" – yang mengutamakan berita sensasional daripada fakta – merambah Indonesia, mengikuti jejak media di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Jika jumlah media  massa sebelumnya sekitar 289, pasca  reformasi melonjak hingga 60.000. Sayangnya, menurut Dewan Pers, tidak sampai 2.000 media yang memenuhi syarat verifikasi.

Perkembangan ini tidak sepenuhnya berdampak positif. Dalam banyak kasus, kebebasan yang diberikan pada pers justru disalahgunakan. Media yang seharusnya berfungsi sebagai sarana informasi akurat, mencerdaskan bangsa serta  melakukan kontrol sosial sering kali menyimpang dari fungsi. Banyak media yang mengutamakan sensasi, mengabaikan kode etik jurnalistik dan tidak memiliki manajemen yang baik. Akibatnya, fungsi pers sebagai salah satu pilar demokrasi menjadi goyah.

Kehadiran ribuan media baru yang dikelola oleh orang-orang tanpa latar belakang jurnalistik menambah kerumitan situasi. Banyak dari mereka yang menyebut dirinya wartawan tetapi tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Alih-alih melaksanakan tugas jurnalistik dengan benar, sebagian besar hanya berorientasi pada keuntungan materi. Mereka terjun ke lapangan bukan mencari berita tetapi untuk mencari uang.  Terkadang dengan cara-cara yang tidak beradab.

Fenomena ini menciptakan keresahan di berbagai kalangan. Bukan hanya masyarakat umum yang merasa dirugikan  tetapi juga para pengusaha, politisi, birokrat dan tokoh masyarakat. Banyak dari mereka merasa menjadi korban wartawan yang mencari-cari kesalahan. Jika mereka menolak memberi uang atau fasilitas tertentu kemudian  diancam untuk diberitakan secara negatif. Praktik semacam ini jelas melanggar etika jurnalistik namun sering kali sulit dikendalikan.

Dewan Pers sebagai lembaga pengawas etika media tidak memiliki wewenang untuk membubarkan media yang tidak memenuhi standar. Dewan Pers tak ubahnya macan kertas,  hanya bertugas memastikan kode etik jurnalistik dipatuhi. Juga kapasitasnya tidak menjangkau untuk mendidik wartawan menjadi profesional. Ironis, di tengah kebebasan pers yang diidamkan, media justru menjadi instrumen yang semakin sulit diatur, saking liarnya.

Sekarang, media tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi yang tidak akurat tetapi juga menjadi semacam "sampah peradaban" yang mengganggu tatanan masyarakat. Kepercayaan terhadap media terjun bebas. Informasi yang disajikan sering kali tidak mencerdaskan, tetapi justru memperburuk situasi sosial. Wartawan yang idealnya menjadi pilar demokrasi dengan fungsi kontrol sosial malah sering terlibat praktik tanpa adab sehingga merusak integritas jurnalistik.

Jika kondisi ini dibiarkan tanpa upaya pembenahan serius, masa depan demokrasi di Indonesia pasti terancam. Kebebasan pers yang seharusnya menjadi fondasi kuat dalam memperkuat demokrasi malah bisa mengantar negara ini ke dalam jurang kehancuran.

Untuk itu dibutuhkan langkah nyata dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat dan insan pers. Reformasi media yang berkelanjutan harus dilakukan, termasuk dalam hal pengawasan yang lebih ketat terhadap media dan peningkatan kualitas wartawan melalui pendidikan dan pelatihan. Hanya dengan demikian, pers Indonesia dapat kembali ke jalur  sebagai pilar penting demokrasi, bukan sebagai ancaman bagi masa depan bangsa.

Kebebasan pers adalah anugerah namun jika tidak digunakan dengan bijak, anugerah itu bisa berubah menjadi bencana.

Di atas kebebasan bersuara adalah keselamatan bangsa dan negara.

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

Kopilot
LAINNYA