x
x

Matinya Agama

Jumat, 15 Des 2023 09:39 WIB

Reporter : Rokimdakas

Apakah suatu agama bisa berakhir? Bisa. Faktornya? Pola ajaran. Why? Kalangan pengajar dogma yang mendaku sebagai pejuang pelestari agama justru yang menyebabkan kematian agama. Apa yang diajarkan pada suatu masa tidak lagi  diindahkan masyarakat modern yang hidup dalam peradaban dengan tingkat kemajuan yang  ekstra pesat. Musnahnya agama-agama kuna membuktikan tentang kematian agama.

Pola ajaran dogmatis masih saja asik membahas halal haram, mengiming-imingi surga lalu neraka diceritakan begitu menyeramkan lantas mengudal sandaran ayat, dalil-dalil untuk meyakinkan.

Tema tersebut jika disodorkan pada masyarakat yang semakin cerdas, memiliki ketajaman logika, tidak akan laku dijual, tidak akan membantu  menumbuhkan kepercayaan apalagi menguatkan keimanan. Kata Arek Surabaya, omonganmu tak rungokno tapi gak tak percoyo.

Pada strata sosial yang berpengetauan luas, teks-teks ajaran menuntut agamawan untuk menghadirkan tafsir hakiki yang bisa menunjukkan wujud, menghidupkan ayat dimana keberadaan ayat bisa diterima secara logika.

Dalam masyarakat yang kritis, agama itu kebutuhan hidup bukan urusan sesudah mati. Orang mati tidak butuh agama. Karena agama merupakan kebutuhan hidup maka esensi ajaran agama dalam memberi pemahaman atas keberadaan Tuhan secara nyata pada setiap pribadi harus mampu disampaikan oleh agamawan.

Kalimat "Tuhan beserta kita" jangan hanya dijadikan hiburan keimanan tapi perlu mampu dijelaskan berdasar tafsir yang bisa dinalar. Jika Tuhan tidak bisa dinalar apa artinya Tuhan memberi akal sebagai pembeda kemuliaan  dibandingkan makhluk lainnya?

Hanya karena tidak mampu menjelaskan kemudian beralasan, "Jika kita tidak bisa melihat Tuhan tapi percayalah bahwa Tuhan melihat kita." Jangan membodohi umat karena kebodohan pengajarnya. Ini buruk rupa cermin dibelah, namanya.

Ajaran dogmatis melahirkan penganut bucin – cinta buta. Nalarnya ditumpulkan oleh dongeng berdasar fantasi spiritual pesohor pada dahulu kala, akhirnya nalar umat benar-benar menjadi tumpul. Follower pecinta buta bagi industri religi akan dirawat, direkayasa sedemikian rupa  karena bisa menjadi pasar potensial.

Jika pola ajaran dogmatis, mengandalkan tekstual diterus-teruskan maka pada waktunya akan  stag, tidak lagi mendapat kepercayaan. Ini yang membahayakan bagi kaum pengajar maupun penyiar agama, akibat pola ajarannya ribuan orang menjadi murtad. Tidak perlu dijelaskan bagaimana konsekuensi yang ditanggung oleh pengajar seperti itu yang merasa sebagai pejuang agama tapi justru kontra produktif.


Narasi ajaran menyatakan bahwa keberadaan agama akan berlangsung sampai akhir zaman. Apa benar? Untuk menemukan solusinya dibutuhkan revolusi religi.

Percikan api revolusi religi ditandai oleh tumbuhnya ribuan agama di dunia, itu pun belum tercatat adanya ribuan agama tradisi.

Ajaran dogmatis terjebak dengan  mengagungkan ibadah ritual tanpa mengaplikasikan mantra pada kehidupan lingkungannya. Setelah melakukan ritual merasa sudah menjadi orang baik tanpa mewujudkan ikrarnya setelah  ritual. Begitu banyak yang sembahyang tapi kondisi lingkungan tidak berkembang. Baik lingkungan tempat tinggal, lingkungan sosial, lingkungan ekonomi, budaya, politik, hukum, lingkungan organisasi, komunitas, dlsbnya.

Tidak terlalu salah adanya pernyataan satire, orang yang beribadah seperti menghisap ganja. Tenggen, fly, asik dengan dirinya sendiri, merasa sudah memenuhi syarat sebagai hambat Tuhan paling patuh dibanding yang tidak melakukan ritual. Apalagi merasa memiliki bolo  sehaluan. Triping rame-rame memang asik kan?

Padal jika merenungi mantra yang diucapkan, bukan hal yang mudah yang kudu dilakukan seusai ritual. Bukankah selalu berikrar sepanjang waktu, "Atas nama Tuhan ... Hidup matiku hanya untuk Tuhan ...

Selamatlah (orang") di sisi kanan - Selamatlah di sisi kiri ku ..." Betapa banyak janji yang disampaikan pada Tuhan. Lantas setelah ritual, apa yang dilakukan? Nge-slot? Nge-game? Ngopa-ngopi? Leyeh-leyeh sambil nunggu aba-aba ritual lagi?

Dalam menjalankan ajaran agama, pada suatu fase butuh kecerdasan. Dengan kecerdasan akan bisa mengoreksi pun mengkritisi mana yang relevan, mana ajaran yang sesuai dan mana yang tidak selaras dengan dinamika peradaban dan kebudayaan?

Pembahasan tema seperti ini  sudah amat jamak bahkan lebih tajam dari apa yang  diungkap pada tulisan ini. Bagi yang merasa berada di zona nyaman atas keimanannya tentu merasa terganggu. Semoga saja dengan gangguan ini justru menggugah keterlenaannya untuk menjawab tantangan zaman. Kritik adalah obat. Tidak ada obat yang nikmat tapi menyehatkan bukan?
Semoga.

Ditulis oleh : Rokimdakas

Jurnalis Senior / Penulis Lepas tinggal di Surabaya

Kanal Podium adalah halaman khusus layanan masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA