Pada tahun 1977, di sebuah ruang seni bernama Taman Ismail Marzuki, Mochtar Lubis pernah menyampaikan pidatonya yang kemudian menjadi salah satu karya buku intelektual paling tajam dan kritis dalam sejarah pemikiran Indonesia.
Buku "Manusia Indonesia" karya Mochtar Lubis pertama kali diterbitkan pada tahun 1977 oleh Penerbit Yayasan Idayu, Jakarta.
Baca juga: Pemakzulan Donald Trump Langkah Terbaik
Mochtar menelanjangi karakter dasar manusia Indonesia sebuah sikap keberanian yang pada masa Orde Baru tentu tak semua orang berani lontarkan kritikan tajam, karena bukan tanpa risiko. Di zaman orde baru pemerintah sangat represif
Bagi Mochtar Lubis ada enam watak utama yang menurutnya membentuk wajah manusia Indonesia diantaranya munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik, dan lemah watak.
Apa yang membuat pidato ini terus relevan hingga hari ini bukan semata karena kejeniusannya dalam merumuskan watak bangsa, tetapi karena kenyataan pahit bahwa kritik-kritik tersebut tidak menjadi bahan koreksi nasional.
Sebaliknya, seperti jamur di musim hujan, watak-watak itu justru tumbuh subur dengan wajah baru yang lebih canggih dan berlapis-lapis.
Watak munafik kini bisa memakai jas modern, berbahasa Inggris, mengusung slogan anti-korupsi, namun dalam praktiknya justru menjadi bagian dari lingkaran busuk kekuasaan yang sama.
Mereka pandai mencitrakan diri di media sosial, menebar jargon moralitas, sambil di belakang layar melakukan manipulasi dan kebohongan.
Mochtar Lubis dalam bukunya menjelaskan bahwa kemunafikan orang Indonesia berakar pada budaya yang tidak mendorong keterusterangan.
Sejak kecil, anak-anak diajari untuk tidak berkata jujur jika itu menyakitkan orang lain, untuk tidak terbuka karena takut konflik.
Maka lahirlah generasi yang lihai bermain kata, pandai menyembunyikan niat, dan akhirnya menjadikan kemunafikan sebagai strategi bertahan hidup.
Dalam versi hari ini, kemunafikan itu bukan hanya bertahan, tetapi berkembang melalui politik pencitraan, kebohongan publik, dan bahkan algoritma media sosial.
Sikap enggan bertanggung jawab juga tampak makin meresap dalam banyak sendi kehidupan bangsa. Korupsi yang tak kunjung usai, kasus salah kelola anggaran publik, hingga kegagalan dalam menangani krisis sosial—semuanya mencerminkan budaya lempar tanggung jawab.
Ketika ada kegagalan, yang disalahkan selalu “sistem”, “bawahan”, atau bahkan rakyat sendiri. Padahal dalam masyarakat yang matang, tanggung jawab adalah nilai dasar kepemimpinan.
Namun di sini, tanggung jawab lebih sering menjadi beban yang dihindari, bukan kehormatan yang diemban.
Budaya feodal, yang dalam pengertian Mochtar adalah kecenderungan mengkultuskan pemimpin dan takut bersuara kritis, juga belum benar-benar pupus.
Feodalisme hari ini justru menemukan sarangnya di ruang-ruang birokrasi, institusi pendidikan, bahkan organisasi masyarakat.
Gelar dan jabatan masih menjadi tolok ukur kewibawaan, bukan gagasan atau integritas. Orang-orang muda yang kritis sering kali dibungkam dengan dalih “kurang sopan” atau “belum waktunya bicara”.
Maka tak heran jika kebebasan berpikir dan berekspresi sulit tumbuh subur dalam iklim seperti ini. Kepercayaan pada takhayul yang dulu merujuk pada praktik klenik atau supranatural, kini menjelma dalam bentuk-bentuk modern seperti hoaks, teori konspirasi, dan kepercayaan buta terhadap tokoh-tokoh populis.
Baca juga: Sekolah Rakyat. Mendidik Anak Melarat Jadi Generasi Bermartabat
Di tengah derasnya arus informasi, masyarakat justru terjebak dalam kabut kebingungan. Rasionalitas tak tumbuh beriringan dengan modernisasi teknologi.
Masyarakat menjadi mudah terprovokasi, tidak sabar melakukan verifikasi, dan lebih memilih kenyamanan mitos ketimbang kompleksitas realitas.
Namun di tengah segala cela itu, Mochtar juga mengakui bahwa manusia Indonesia punya jiwa artistik yang tinggi. Kecintaan pada keindahan, ekspresi dalam seni, dan kelihaian dalam menciptakan bentuk-bentuk estetika adalah warisan budaya yang membanggakan.
Sayangnya, jiwa artistik ini sering kali hanya menjadi pelarian dari kenyataan, bukan alat perlawanan terhadap ketidakadilan.
Seniman pun banyak yang memilih diam atau tenggelam dalam estetika tanpa keberpihakan. Watak terakhir yang disorot Mochtar adalah lemahnya karakter. Ia menyebut manusia Indonesia cenderung tidak tahan uji, mudah menyerah, dan cenderung mencari jalan pintas.
Ini adalah akar dari banyak masalah yang hadapi: mulai dari ketidakmampuan membangun industri mandiri, ketergantungan pada bantuan luar negeri, hingga budaya kerja yang abai pada proses dan kualitas.
Kelemahan karakter ini tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan yang lebih menekankan hafalan daripada pengasahan nalar dan keberanian berpikir.
Kini, ketika Indonesia memasuki era yang disebut-sebut sebagai era transformasi digital, ketika bangsa ini dipenuhi jargon-jargon modern seperti “ekonomi kreatif”, “revolusi industri 4.0”, atau “smart city”, watak-watak lama yang dikritik Mochtar Lubis itu bukannya menghilang.
Mereka justru bertransformasi. Watak munafik bersembunyi di balik branding digital, feodalisme bersembunyi dalam hierarki korporasi, keengganan bertanggung jawab dikamuflase dengan bahasa manajerial yang kosong, takhayul berpindah ke teori konspirasi daring, kelemahan karakter dilindungi oleh pencitraan media, dan keartistikan kita tak lagi bermuara pada kemanusiaan.
Apa yang ditawarkan Mochtar Lubis bukanlah sinisme, tetapi cermin. Sebuah ajakan untuk berkaca, menelusuri akar-akar psikologis dan kultural yang membentuk bangsa ini.
Baca juga: Memaknai Politik Agama atau Ideologi
Pidato itu, dan buku yang menyertainya, adalah bentuk cinta tanah air dalam bentuk paling jujur: menyakitkan, tetapi menyadarkan.
Dan mungkin, dalam zaman yang makin penuh dengan polesan dan topeng seperti sekarang, kejujuran seperti itu justru menjadi bentuk kepahlawanan yang semakin langka
Apakah kita cukup berani untuk kembali bercermin pada “Manusia Indonesia”? Ataukah kita memilih terus berdandan, menghindar dari cermin, dan tenggelam dalam ilusi kemajuan? Sebab selama kita tidak berani menghadapi wajah kita sendiri, semua kemajuan hanya akan menjadi parade kosong f tubuh yang rapuh.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi