Surabaya Lahir dari Lahar Letusan Gunung Kelud

Reporter : Redaksi
Yousri Nur Raja Agam . Wartawan Senior  &  Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Berdasarkan tulisan Dr.RDM Verbeek dan R.Fennema, dulu wilayah  Mojokerto yang menjadi pusat Kerajaan Majapahit, berada di pinggir laut Jawa, tepatnya di Selat Madura.

Kalimat itu, tertera sangat jelas pada buku berjudul  "Geologische Beschrijvin van Java en Madoera" halaman 206.

Baca juga: Pemerintahan Surapringga Sebelum Kota Surabaya

Buku terbitan Amsterdam-Joh G.Stemler Edisi 1, tahun 1896.

Nah, tentu timbul pertanyaan.  Benarkah itu? Kalau Mojokerto sebagai bukota Majapahit, berada di pinggir laut, di manakah letak Surabaya di waktu itu? Jawabannya: "belum lahir".

Ahli geologi, yang menulis buku itu, sama sekali, tidak menyinggung nama Surabaya. Apakah betul Surabaya, saat itu belum ada?

Memang, Surabaya belum lahir. "Janin Surabaya masih berada dalam kandungan  Gunung Kelud". Sebab timbulnya daratan Surabaya dan Sidoarjo, berasal dari lahar yang dimuntahkan melalui kawah Gunung Kelud.

Gunung yang terletak di wilayah Kediri dan Blitar, Jawa Timur itu, meletus rata-rata antara 5 sampai 15 tahun. Setiap meletus,  jutaan meter kubik lahar dimuntahkan. Lahar yang disertai pasir dan lumpur itu hanyut melalui Sungai Kali Brantas yang Bermuara ke Selat Madura.

Reiner Fennema dan Rogier Verbeek, menulis, pada zaman pra-sejarah sampai zaman kwarter dan alluvial terjadi pembentukan daratan Brantas. Sama dengan Ahli geologi Junghuhn juga tegas menyatakan ibukota Majapahit dulu berada di pinggir laut.

Daratan Mojokerto, baru terbentuk enam abad terakhir, terutama oleh kejadian penting, banjirnya Sungai Kali Brantas, setelah meletusnya Gunung Kelud. Demikian ditulis di tahun 1896 (Java II holl.blz.113, terbitan Jerman p.83).

Teman saya yang sama-sama penggemar perpustakaan, Ir.H.Oerip Soedarman, menerjemahkan buku Bahasa Belanda itu, menyatakan letak Mojokerto, saat itu masih di muara Sungai Kali Brantas.

Artinya, menurut Ir.Oerip Soedarman, mantan pejabat Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur itu, daratan Surabaya dan Sidoarjo belum ada. Apalagi dinyatakan, muara Sungai Kali Brantas, masih di Mojokerto.

Ir.Oerip Soedarman yang menjelang pensiun sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Negeri (BKPMD) Jawa Timur itu, menegaskan, kebenaran  dari buku yang ditulis  Fennema dan Verbeek itu.

Sangat jelas, mereka berdua menyebut,  akibat terjadi pendangkalan di muara Sungai Kali Brantas, muncul daratan berupa pulau-pulau kecil di muaranya yang menghadap laut Selat Madura. Dalam buku yang tebal itu, disajikan berbagai hal menyangkut geologi lengkap tentang Jawa dan Madura.

Peneliti dan beberapa ahli sejarah, memang mengakui, dulu terjadi pergeseran muara sungai Kali Brantas dari Mojokerto ke Surabaya dan Sidoarjo. Aliran Sungai Kali Brantas terbagi dua yang melahirkan anak sungai.  Yang mengalir ke Surabaya, diberi nama Kali Surabaya dan yang ke arah Sidoarjo dinamai Kali Porong.

Di muara ke dua kali ini terbentuk gugusan kepulauan. Arah selatan Kali Surabaya, masih di Wonokromo. Di zaman lampau itu, daratan bumi Surabaya sekarang ini masih merupakan pulau-pulau kecil. Ini  terjadi akibat lumpur yang hanyut dari letusan Gunung Kelud. Namun, lama-kelamaan terus terjadi pendangkalan di muara sungai yang terletak di Selat Madura ini.

Akibat sedimen yang terus bertambah, endapan lumpur semakin meninggi, sehingga selat-selat yang terletak di antara gugus pulau-pulau kecil itu menyempit. Di antara pulau-pulau kecil itu banyak yang menyatu, sementara ada pula selat di antara pulau-pulau kecil itupun berubah menjadi anak sungai atau kali.

Kejadian yang unik itu ditopang pula dengan proses tektonik. Permukaan daratan Surabaya naik 5 sampai 8 centimeter per-abad. Sementara itu daratan atau garis pantai bertambah ke arah laut  7,5  sampai 10 centimeter per-tahun.

Dalam catatan sejarah, Gunung Kelud rata-rata meletus setiap 15 tahun sekali. Memang, apabila Kelud meletus, dua wilayah yang menjadi sasaran utama, yaitu Blitar dan Kediri. Tetapi, karena Sungai kali Brantas mengalir dari arah Kediri sampai ke Surabaya, maka semburan gunung yang membawa lava, lahar dan lumpur itu hanyut sampai ke muara sungai. Selain membuat pendangkalan di badan sungai, endapan terbanyak justru di muaranya Selat Madura, yaitu Surabaya dan Sidoarjo.

Gunung Kelud Meletus

Data yang berhasil dicatat dari Proyek Penanggulangan Bencana Alam Gunung Kelud, secara berturut-turut Gunung Kelud meletus tahun 1311, 1334, 1376, 1385, 1395, 1411, 1451, 1462, 1481, 1586, 1752, 1771, 1811, 1826, 1835, 1848, 1851, 1864, 1901, 1919, 1951, 1966, 1990 dan 2005.

Baca juga: Melacak Petilasan Kerajaan Majapahit di Surabaya

Sebagai contoh, letusan tahun 1966 dan 1990, tidak kurang satu kali letusan memuntahkan lahar 28 juta meter kubik. Lahar yang dimuntahkan itu, selain menimbun kawasan di sekitar gunung, juga mengalir di lereng gunung terus ke sungai.

Lahar yang berubah menjadi pasir dan lumpur itu mengalir melalui Sungai Kali Brantas hingga muara. Akibat yang terjadi, juga mendangkalkan permukaan sungai, mempersempit lebar sungai dan menambah endapan di muara sungai, laut di Selat Madura.

Begitulah asal-usul dan cikal-bakal kejadian daratan di muara Kali Surabaya. Sehingga, daerah yang semula bernama Junggaluh atau Ujunggaluh atau Hujunggaluh, kemudian bernama Surabaya.

Tidaklah mengherankan, kalau sampai sekarang Surabaya berada di dataran rendah dan terletak pada ketinggian hanya 0 sampai 6 meter di atas permukaan laut.

Jadi, kalau Surabaya banjir rob atau pasang naik mencapai bibir daratan, tidak perlu heran dan sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Dari gugus pulau-pulau kecil yang disebut pulo di muara kali Surabaya  dan sungai Kalimas yang berinduk ke sungai Kali Brantas itu, ada selat-selat yang dulu diberi nama kali.

Tidaklah mengherankan ada nama tempat di Surabaya ini yang disebut pulo dan kali. Bahkan ada pula: karang dan tambak, sebagai wilayah laut dan punggir laut atau pantai.  Di sini pola hidup dan kehidupan warga asli, adalah memancing dan berburu. Rumah-rumah penduduk kampung asli Surabaya dulunya berada di atas tiang dan di atas permukaan air, sebagaimana umumnya permukiman pantai.

Seiring dengan perkembangan ruang dan waktu, pola kehidupan berubah. Kehidupan di dunia pantai yang berubah menjadi pelabuhan itulah yang mendorong terjadinya kegiatan kemaritiman. Dunia maritim ini saling tunjang dengan perdagangan dan industri. Inilah ciri khas Surabaya pada awalnya, yang kemudian berkembang ke arah pendidikan, budaya dan pariwisata seperti sekarang ini.

Sebagai wilayah berada di muara sungai yang berkembang menjadi pelabuhan, keberadaannya diakui oleh pemerintah penjajah Belanda di awal abad ke 16. Evolusi menjadi kota besar mulai terjadi setelah dilakukan pemetaan wilayah oleh Muller tahun 1746. Pemetaan wilayah Surabaya itu atas perintah Gubernur Jenderal Belanda wilayah Hindia Belanda yang mendarat 11 April 1746 di utara Surabaya.

Awalnya luas kota Surabaya yang secara otonom diserahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat pembentukan kota 1 April 1906 di bawah pemerintahan walikota (burgermeester), sekitar 5.170 hektar atau 51,70 kilometer per-segi.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Pemerintahan Kota Surabaya dikukuhkan dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 dengan luas wilayah 67,20 kilometer per-segi atau 6.720 hektar.

Baca juga: Tanpa Raja, Disebut “The King of Surabaya”

Kemudian terjadi perluasan kota dengan penambahan wilayah dari lima kecamatan dari Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten Gresik). Luas kota bertambah 15.461,124 hektar atau 15,46 kelometer persegi, sehingga luas kota Surabaya menjadi 22.181,12 hektar atau 221,18 kilometer per-segi.

Entah apa dasarnya, setelah tahun 1965 pada keterangan dan dalam buku agenda resmi Pemerintahan Kota Surabaya terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya menjadi 29.178 hektar

Sejak tahun 1992, berdasarkan pemotretan udara, ternyata luas Surabaya 32.636,68 hektar. Memang, begitulah kenyataannya, konon hingga sekarang, luas daratan kota Surabaya terus bertambah. Dinas Tatakota Pemkot Surabaya, Senin, 12 Mei 2003, pernah mengungkap pertambahan luas daratan itu disebabkan lumpur yang hanyut ke muara sungai, terutama di hilir Kali Jagir sampai daerah Wonorejo. Akibatnya, selain muara sungai menyempit, juga semakin dangkalnya laut di muara sungai, bahkan menimbulkan tanah oloran baru.

Kalau kita amati dan kita cermat melakukan jalan keliling kota, pertambahan daratan Surabaya itu, juga akibat kegiatan reklamasi pantai dan pengurukann laut. Kegiatan yang dilakukan pihak swasta ini, pertama di daerah pertambakan, pembangunan perumahan di pinggir pantai serta perluasan daratan yang dilakukan pengelola Pantai Ria Kenjeran.

Dalam buku agenda tahun 1980-an, luas Surabaya tertulis 29 ribu hektar. Kemudian pada tahun 1990-an dari hasil pemotretan udara, luas Kota Surabaya 32,63 ribu hektar. Namun, di tahun 2003, Kepala Dinas Tatakota Pemkot Surabaya Ir.Erlina Soemartomo (waktu itu) menyebut luas Kota Surabaya, 35 ribu hektar lebih. Kendati demikian, pada buku kerja (agenda) resmi terbitan Pemkot Surabaya tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006, luas wilayah kota Surabaya tetap dicetak 326,37 km2 atau 32,63 ribu hektar lebih.

Itulah riwayat Surabaya.  Dari tidak ada menjadi. Artinya, Surabaya benar-benar-benar lahir dari "perut bumi". Dilahirkan dalam bentuk lava dan lahar Gunung Kelud. Hanyut berupa pasir dan lumpur melalui Sungai Kali Brantas ke arah muaranya di Selat Madura. ( Bersambung ke 2 )

Penulis: Yousri Nur Raja Agam MH

Wartawan Senior  &  Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

Ekonomi
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru