Dalam khazanah ajaran Islam, ibadah terbagi menjadi dua ranah besar, ibadah ritual dan ibadah sosial. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan dari esensi keislaman yang sejati. Ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan umrah adalah pilar utama yang menjadi penghubung langsung antara manusia dan Tuhannya.
Di sisi lain, ibadah sosial seperti menyantuni fakir miskin, mengasuh anak yatim, membantu kaum dhuafa, dan menegakkan keadilan sosial merupakan manifestasi nyata dari kepedulian umat terhadap sesama.
Namun, ketika seorang Muslim dihadapkan pada pilihan praktis antara menunaikan ibadah haji atau umrah berkali-kali dengan menggunakan hartanya, atau mengalihkan dana itu untuk membantu orang-orang yang sangat membutuhkan, pertanyaan penting pun mengemuka: manakah yang lebih mulia di sisi Allah?
Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan sekali seumur hidup bagi Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Umrah, meskipun tidak wajib, tetap sangat dianjurkan sebagai bentuk pendekatan spiritual kepada Allah.
Keduanya memiliki nilai sakral yang tinggi karena menyimbolkan perjalanan ruhani manusia menuju titik kesadaran tertinggi atas kebesaran Ilahi. Namun, setelah seseorang menunaikan haji wajibnya, hukum untuk haji selanjutnya menjadi sunnah. Begitu pula umrah, yang dalam banyak kasus menjadi agenda tahunan sebagian Muslim yang memiliki kelapangan rezeki.
Hal ini menimbulkan refleksi mendalam: apakah berulang kali menziarahi tanah suci lebih utama ketimbang mengulurkan tangan kepada mereka yang kelaparan, tidak berpendidikan, dan hidup dalam lingkaran kemiskinan?
Pertanyaan semacam ini bukan hanya spekulasi moral, melainkan menjadi diskursus yang telah lama dibahas oleh para ulama, cendekiawan, dan pemikir Islam dari berbagai generasi. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, seorang mufassir dan pemikir Islam kontemporer Indonesia, secara tegas menyatakan bahwa kemuliaan sebuah ibadah sangat ditentukan oleh konteks dan maslahatnya.
Menurut Prof DR M Quraish Shihab, beliau menyampaikan bahwa Allah tidak membutuhkan kehadiran manusia secara fisik di depan Ka'bah jika di sisi lain ada anak-anak yatim dan fakir miskin di sekitar rumah kita yang bahkan tidak bisa makan layak. Ibadah yang baik bukan hanya yang menunjukkan kesalehan ritual, tetapi juga yang memanifestasikan kepedulian sosial.
Pernyataan senada pernah disampaikan oleh almarhum Buya Syafii Maarif, tokoh intelektual Muslim dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Beliau mengingatkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan rukun-rukun ibadah secara formal, tetapi juga menekankan pada nilai-nilai sosial seperti keadilan, empati, dan solidaritas kemanusiaan.
Baginya, umat Islam harus lebih peduli pada problematika sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan, ketimbang hanya berlomba-lomba dalam urusan ibadah simbolik yang kadang justru kehilangan ruhnya.
Dalam kitab-kitab fiqih klasik pun, pandangan serupa muncul. Imam Ibnu Qudamah dalam karya monumentalnya, al-Mughni, menyatakan bahwa jika seseorang telah menunaikan haji wajib, maka haji berikutnya adalah sunnah dan tidak wajib ditunaikan.
Bahkan beliau menyebut bahwa dalam kondisi tertentu, menyedekahkan harta kepada mereka yang membutuhkan bisa lebih utama dibanding melaksanakan ibadah sunnah seperti haji atau umrah berulang kali, karena kemaslahatan yang ditimbulkan lebih besar.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW sangat banyak yang menjelaskan keutamaan menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ma’un: "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin."
Ayat ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang tidak hanya dilihat dari ibadah formalnya, tetapi juga dari sejauh mana ia peduli pada kaum yang terpinggirkan.
Nabi SAW pun bersabda, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti ini,” sambil beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah yang berdekatan. Hadis ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang yang menyayangi dan memelihara anak yatim. Bahkan dalam hadis lain disebutkan bahwa sedekah yang dilakukan secara ikhlas akan menjadi pelindung dari api neraka, meskipun hanya sebesar separuh kurma.Lebih dari sekadar nasihat moral, semangat menyantuni kaum lemah dalam Islam memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi.
Dalam konteks dunia modern di mana ketimpangan ekonomi makin mencolok dan krisis kemanusiaan masih terjadi di berbagai belahan dunia, kepekaan sosial bukanlah tambahan dalam keberislaman—melainkan substansi dari iman itu sendiri.
Apalagi ketika kita tahu bahwa dana satu kali haji sunnah atau umrah dapat memberi makan ratusan keluarga miskin selama berbulan-bulan, menyekolahkan anak-anak yatim, atau membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan di daerah tertinggal.
Ini bukan soal meniadakan pentingnya ibadah haji atau umrah, melainkan mengajak untuk merenung dan bijak dalam memprioritaskan pengeluaran harta ketika maslahat umat sangat bergantung pada kita.
Sebagaimana disebut dalam kaidah fiqih, "Tindakan seorang Muslim harus senantiasa mempertimbangkan kemaslahatan." Maka jika kemaslahatan umat lebih besar dengan membantu mereka yang membutuhkan, maka itulah jalan ibadah yang lebih utama.
Menziarahi Ka'bah tentu mulia, tetapi jangan lupakan bahwa senyum seorang anak yatim yang kenyang karena bantuan kita, atau tangis haru seorang ibu miskin yang bisa menyekolahkan anaknya berkat sedekah yang kita berikan, mungkin lebih cepat mengetuk pintu langit.
Sebab Allah tidak hanya berada di antara dinding-dinding Masjidil Haram, tetapi juga hadir dalam jeritan kaum dhuafa yang memohon pertolongan.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi