Reporter : Redaksi
"Di berbagai tempat, saya sampaikan sikap Indonesia bahwa Indonesia memandang penyelesaian 'two state solution', kemerdekaan bagi Palestina merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian yang benar.
Tapi di samping itu pun, saya tegaskan bahwa kita juga harus mengakui dan menjamin hak Israel untuk berdiri sebagai negara yang berdaulat, dan harus juga dijamin keamanannya.
Karena itu Indonesia sudah menyampaikan, begitu negara Palestina diakui oleh Israel, Indonesia siap untuk mengakui Israel dan Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel."
Demikian kutipan Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ketika menyambut kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron bersama Ibu Negara Brigitte Macron di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu 28 Mei 2025.
Pidato Prabowo tersebut Subianto merupakan sebuah tonggak penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Sebuah pernyataan berani, bijaksana, dan mencerminkan pemahaman mendalam terhadap realitas geopolitik global.
Dalam pertemuannya dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Prabowo tidak hanya menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina tetapi juga membuka kemungkinan diplomasi dengan Israel jika negara tersebut mengakui kemerdekaan Palestina secara resmi.
Di balik pidato yang tenang tersirat sebuah pesan moral dan politik yang mendalam, bahwa politik tidak boleh terjebak dalam romantisme masa lalu atau dogma kaku melainkan harus menjadi jalan pengabdian kepada rakyat dengan prinsip keterbukaan, inklusivitas dan integritas.
DINAMIKA GLOBAL
Dunia telah berubah. Geopolitik bukan cuma soal keberpihakan ideologis semata tetapi tentang kemampuan menjaga keseimbangan dalam pusaran dinamika global yang semakin kompleks.
Ketika dunia bergerak ke arah multi-polaritas - pengaruhnya tidak terpusat pada satu atau dua negara melainkan tersebar dan memiliki kekuatan yang relatif sama - maka negara-negara seperti Indonesia tidak bisa terus bersandar pada narasi hitam-putih. Kita dituntut untuk menjadi bangsa yang mampu melihat persoalan dari berbagai sudut pandang, termasuk isu Palestina–Israel.
Presiden Prabowo menyatakan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan syarat yang sangat tegas: kemerdekaan Palestina harus diakui terlebih dahulu. Ini bukan sekadar manuver diplomatik tetapi sikap kenegarawanan yang mencerminkan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berpihak pada perdamaian dunia.
SEJARAH HUBUNGAN
Langkah ini bukan tanpa akar sejarah. Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, semasa hidupnya pernah menyampaikan di depan parlemen Israel, bahwa hubungan Indonesia–Israel bukanlah hal yang asing. Bahkan, jauh sebelum republik ini berdiri, sudah terjalin kontak perdagangan antara para pedagang Israel dan Barus, Sumatera Utara, penghasil kemenyan.
Dalam sebuah kunjungan ke Israel, Gus Dur membuka jendela pemahaman baru, bahwa dialog tidak berarti menyerah dan hubungan tidak selalu bermakna pengkhianatan.
Justru melalui keterbukaan itulah kita menjaga martabat bangsa. Diplomasi adalah seni menjembatani perbedaan, bukan menegaskan permusuhan.
Dalam setiap pilihan politik, harus ada integritas. Artinya, keputusan harus dilandasi kepentingan rakyat dan peradaban, bukan sekadar tekanan publik atau kepentingan jangka pendek. Dalam konteks konflik Palestina-Israel, kita seringkali terjebak dalam narasi emosional yang tidak utuh, padahal akar permasalahan begitu kompleks.
Misal, ketika negara-negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab,l memberikan bantuan besar kepada Palestina untuk membangun negaranya ternyata dalam praktiknya, sebagian bantuan itu digunakan oleh Hamas untuk membeli persenjataan yang kemudian digunakan melawan negara-negara pendonor, termasuk Israel.
Hal itulah yang menyebabkan Israel mengambil langkah-langkah militer untuk mempertahankan keamanan warganya. Apakah hal itu lantas membenarkan semua tindakannya? Tidak. Tapi inilah pentingnya kita bersikap terbuka dalam memahami dinamika konflik agar tidak terjebak dalam sikap reaktif yang justru mengaburkan keadilan.
LANGKAH STRATEGIS
Jika pada masa kepemimpinan Prabowo, Indonesia berhasil menjembatani perdamaian antara Palestina dan Israel melalui pendekatan yang inklusif maka itu adalah warisan yang tidak ternilai. Ini bukan hanya tentang membuka kedutaan atau menandatangani dokumen diplomatik. Ini tentang pembuktian bahwa Indonesia mampu menjadi juru damai global yang bermartabat.
Lebih dari itu, membuka hubungan dengan Israel di masa depan juga membuka peluang kerjasama strategis di bidang teknologi, pertanian, kesehatan, dan pendidikan. Israel dikenal memiliki inovasi luar biasa dalam bidang teknologi militer, pengolahan air dan pertanian gurun seperti di Afrika. Jika hubungan ini dijalin dengan prinsip saling menghormati dan tanpa mengorbankan perjuangan Palestina maka ini akan menjadi simbiosis yang bermanfaat bagi peradaban.
Sudah saatnya kita sebagai warga negara memahami bahwa politik bukan medan fanatisme. Ia adalah ruang untuk berpikir, bernegosiasi, dan mengambil keputusan berdasarkan data dan kemaslahatan. Politik membutuhkan keberanian untuk tidak menyenangkan semua pihak tetapi tetap berpihak pada kepentingan jangka panjang rakyat dan dunia.
Sebagaimana Prabowo berani menyampaikan bahwa Indonesia tidak hanya mendukung Palestina tetapi juga mengakui hak Israel untuk hidup aman dan berdaulat. Itulah bentuk dari politik yang matang. Di balik diplomasi yang tampak normatif, ada visi besar tentang masa depan peradaban dunia yang damai dan setara.
Kita tidak bisa selamanya hidup dalam dunia yang hanya membagi antara "teman" dan "musuh." Dunia ini terlalu rumit untuk disederhanakan, dan rakyat terlalu berharga untuk dijadikan korban dari politik yang keras kepala. Di atas politik adalah kemanusiaan, dan di atas ideologi adalah kepentingan rakyat.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi