Reporter : Redaksi
Dunia kembali terguncang. Bukan oleh bencana alam tetapi oleh dentuman rudal dan keheningan panjang diplomasi internasional yang gagal mencegah bencana kemanusiaan.
Serangan balasan Iran ke jantung Tel Aviv bukan hanya balasan militer, itu merupakan peringatan bahwa sistem internasional sedang runtuh di hadapan standar ganda kekuasaan global.
Bagi Indonesia, negara yang berdiri di atas semangat anti-penjajahan dan perdamaian dunia, ini bukan sekadar berita luar negeri. Ini adalah panggilan sejarah.
Tanggal 13 Juni 2025 menjadi titik balik. Setelah serangan Israel yang menewaskan Panglima Garda Revolusi dan ilmuwan strategis Iran di Teheran, Iran segera melayangkan nota diplomatik kepada PBB. Mengacu pada Pasal 51 Piagam PBB, Iran menegaskan haknya untuk membela diri.
Namun dunia diam. PBB memilih bungkam. Dan di sinilah krisis dimulai. Dalam waktu 6 jam, lebih dari 350 rudal balistik dan drone hipersonik dilepaskan Iran ke wilayah Israel. Data dari Global Defence Monitor (Juni 2025) menyebut lebih dari 70% sistem pertahanan Iron Dome Israel lumpuh. Sebuah keruntuhan simbolis atas mitos kekebalan Israel.
Iran menunjukkan bahwa selama empat dekade di bawah sanksi dan embargo, ia tidak sekadar bertahan tetapi membangun kekuatan sendiri.
Presiden Prabowo Subianto, dalam keputusan strategisnya, memilih memenuhi undangan Presiden Vladimir Putin di Rusia ketimbang hadir dalam forum G7 yang didominasi negara-negara Barat. Keputusan ini bukan tanpa makna. Dalam narasi diplomasi global, ini adalah sinyal bahwa Indonesia tak lagi ingin sekadar jadi penonton di panggung internasional yang sarat kepentingan sepihak.
Sebagai negara Non-Blok yang besar secara geopolitik dan berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia harus berani mengambil sikap berdaulat. Mengutamakan stabilitas nasional seraya memposisikan diri sebagai penengah yang adil dalam konflik global.
Kita bukan hanya punya hak moral namun juga kewajiban konstitusional: “ikut serta dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
WASPADA PROXY
Di dalam negeri, kondisi global yang memanas harus disikapi dengan sangat serius. Kelompok-kelompok perusuh bikin gaduh yang menjadi pion kepentingan asing, baik dalam bentuk gerakan politik, ekonomi, maupun media, harus ditangani secara tegas. Di tengah guncangan ekonomi dunia akibat konflik Iran-Israel dan perang di Ukraina, Indonesia tidak boleh lengah.
Stabilitas nasional adalah prasyarat utama untuk menjaga kehidupan masyarakat tetap tenang dan produktif. Kebisingan politik yang tidak konstruktif, apalagi yang disusupi agenda luar, adalah ancaman terhadap kedaulatan.
Apa pelajaran terbesar dari Iran? Bahwa dalam sistem dunia yang anarkis hanya bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri yang bisa menjaga harga dirinya.
Iran tidak mengemis keadilan tapi memperjuangkannya. Bukan karena cinta perang tetapi karena dunia menolak mendengar suara diplomasinya. Dalam keterasingan, Iran membangun kekuatan, sekarang dunia menyaksikan hasilnya.
Indonesia tidak perlu meniru cara Iran. Tetapi kita harus belajar dari keteguhan mereka. Sejak dulu, Bung Karno sudah mengingatkan: “Berdikari dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berdikari dalam kebudayaan.” Hari ini, pesan itu sangat relevan.
Pemerintahan Prabowo–Gibran punya tantangan besar. Dunia sedang berubah. Ketidakpastian adalah wajah baru dari tatanan global. Tapi justru dalam kekacauan inilah, Indonesia bisa menemukan momentum untuk tampil sebagai bangsa besar.
Kita tidak harus memilih blok manapun. Kita hanya perlu memihak pada keadilan. Untuk itu kita harus kuat secara militer, mandiri secara ekonomi, solid secara sosial-politik. Inilah esensi nasionalisme abad 21. Bukan anti asing tetapi anti dominasi. Bukan anti kerjasama tetapi pro kedaulatan.
Ketika dunia mulai hancur oleh kepentingan sempit dan diamnya institusi global, Indonesia harus menjadi mercusuar. Kita bukan bangsa kecil. Kita punya warisan sejarah, kekuatan demografi, posisi geostrategis, dan semangat rakyat yang luar biasa.
Tapi semua itu akan sia-sia jika kita takut bersikap. Dunia tidak akan menunggu kita siap. Satu-satunya jalan adalah menjadi siap sekarang. Membangun pertahanan, memperkuat ekonomi dalam negeri dan mempererat kebangsaan.
Seperti Iran seperti sejarah kita sendiri. Mari berdiri tegak bukan untuk menyerang tapi agar tak mudah diinjak.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi