x
x

Nelayan Terjerat Dalam Kemiskinan Struktural

Kamis, 22 Mei 2025 18:03 WIB

Reporter : Redaksi

Memalukan. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia justru menyuguhkan kenyataan getir, kemiskinan struktural melilit kehidupan  nelayan.
 
Jika Pancasila masih menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara, mengapa sila "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" belum  menyentuh desa-desa pesisir dengan memberikan keadilan yang nyata?
 
Nelayan mengalami kemiskinan bukan karena malas atau tidak mau bekerja tapi karena struktur ekonomi, sosial dan kebijakan yang tidak mendukung kesejahteraan mereka. Kebijakan pemerintah yang kurang melibatkan nelayan dalam pelestarian sumber daya laut membuat hasil tangkapan mereka terus menurun.
 
Hingga sekarang nelayan kecil sulit mendapatkan perahu dengan alat tangkap modern atau pendingin ikan karena karena tidak punya jaminan untuk mengakses kredit perbankan. Lantaran tidak punya akses langsung ke pasar atau koperasi, nelayan terpaksa menjual hasil tangkapan ke tengkulak dengan harga rendah.
 
Izin penangkapan sering lebih mudah didapat oleh kapal-kapal besar  sementara nelayan kecil kesulitan memenuhi syarat birokrasi. Nelayan jarang memiliki asuransi jiwa, kecelakaan atau jaminan hari tua. Saat musim buruk atau cuaca ekstrem, mereka tidak punya penghasilan alternatif.
 
Bila gotong royong adalah intisari kehidupan bangsa, mengapa nelayan dibiarkan berjuang sendirian menghadapi tengkulak, kapal asing pencuri ikan, hingga organisasi semu yang menyamar sebagai pembela nelayan. Why?
 
PUSARAN KONFLIK

Harapan sempat muncul dari inisiatif revitalisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), ketika mayoritas DPD dari seluruh penjuru Nusantara mendorong Munas Bogor sebagai jalan keluar dari kevakuman organisasi selama hampir 15 tahun. Munas ini sah secara AD/ART, menghasilkan kepemimpinan Laksamana (Purn) Sumardjono, siap melakukan perubahan sistemik dalam pembelaan hak-hak nelayan.
 
Namun semangat tersebut  terguncang ketika secara tidak masuk akal, dua Surat Keputusan dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM kala itu, Yasonna Laoly. Pada 4 November 2023, SK AHU-0001530.AH.01.08 menetapkan kepengurusan hasil Munas Bogor. Tapi enam hari kemudian, SK AHU-0001561.AH.01.08 justru mengesahkan hasil Munas Bali yang ditunggangi oleh Herman Herry, politisi PDIP sekaligus anggota DPR RI. Bau amis menyelimuti kasus ini karena Yasonna dan Herman sama-sama kader PDIP.
 
Tindakan ini bukan hanya mencederai logika hukum tetapi juga menampar wajah keadilan. HNSI yang seharusnya menjadi rumah nelayan kini terbelah dua karena kepentingan pragmatis menjelang Pemilu 2024.
 
SOLUSI DUALISME
 
Konflik legalitas ini menciptakan kekacauan di lapangan. Para pengurus daerah dibuat bingung, mitra pemerintah enggan bekerja sama dan program-program strategis seperti pemetaan kebutuhan SPBUN. Penyusunan data base nasional nelayan.
 
Kemudian skema perlindungan sosial nelayan dan keluarga serta penguatan koperasi nelayan dan ekonomi pesisir. Kini, semuanya terhambat. Padahal, langkah-langkah ini adalah kebutuhan mendesak, bukan wacana elite.
 
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memiliki mandat melindungi sektor ini, tidak bisa terus bersikap pasif. Jika Menteri Pertanian mampu bersikap tegas terhadap mafia pupuk dan penyalahgunaan lahan maka Menteri Kelautan pun harus menunjukkan sikap serupa terhadap manipulasi yang merugikan nelayan. Pembiaran terhadap dualisme organisasi HNSI adalah bentuk kelalaian negara terhadap penderitaan rakyatnya.
 
Pemerintah  terutama Menkumham baru dan KKP - harus mengamputasi HNSI palsu hasil Munas Bali yang jelas-jelas cacat hukum karena diterbitkan setelah SK Munas Bogor.
 
HNSI versi Munas Bogor harus segera menempuh jalur hukum termasuk judicial review atas SK ganda yang diterbitkan Yasonna Laoly. Ini penting untuk menjaga marwah organisasi dan menegaskan bahwa hukum tidak tunduk pada kekuasaan.
 
Langkah selanjutnya adalah membangun Konsolidasi Nasional HNSI Munas Bogor dengan segera merampungkan database nasional nelayan berbasis NIK. Mendata kebutuhan BBM subsidi dan 'cold storage' di seluruh pelabuhan. Penyediaan kapal tangkap modern untuk nelayan kecil agar mampu bersaing dengan kapal asing.
 
Memperingati 52 tahun HNSI pada 21 Mei 2025, Djoko Sungkono, Staf Ahli Ketua Umum HNSI Munas Bogor menyebut organisasi massa bukanlah ladang konflik kepentingan tapi ruang perjuangan kolektif. Dualisme organisasi, menurutnya, mencerminkan kegagalan memahami ruh berorganisasi itu sendiri.
 
Terlalu lama nelayan dijadikan komoditas kampanye tanpa kepastian nasib. Terlalu sering mereka dijanjikan kehidupan sejahtera hanya untuk dilupakan usai Pemilu. Maka  inilah saatnya negara harus turun tangan, memihak yang benar, mencabut akar masalah hingga tuntas.
 
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
 
 
 

Editor : Redaksi

LAINNYA