x
x

Perlu Tatag Menghayati Kemerdekaan Batiniah

Kamis, 08 Mei 2025 17:21 WIB

Reporter : Redaksi

"Tuhan,

aku lelah

berpura-pura.”

Ada satu hal yang sering kali luput dari sorotan mimbar dan ceramah keagamaan, bahwa kemerdekaan batin bukanlah kemewahan, melainkan keniscayaan bagi jiwa yang matang. Terutama ketika usia sudah mulai berkompromi dengan tenaga tapi tidak dengan kesadaran. Maka tibalah saatnya untuk meninjau ulang dengan jujur dan jernih: apakah kita masih menjalani agama atau hanya sekadar menanggungnya?

Mari mulai dari pertanyaan mendasar.  Apakah beragama harus selalu berarti terjerat oleh rangkaian ritual dan simbol? Bukankah sejak awal tujuan agama adalah membangun  moralitas? Bila benar demikian, mengapa moralitas kerap dikerdilkan menjadi sekadar tata cara wudhu, irama dzikir, arah kiblat atau bahkan jenis pakaian yang dikenakan?

Dalam banyak kasus, agama menyerupai undangan ke pesta mewah. Dengan janji kenikmatan surgawi disertai daftar dress code, protokol ketat dan ancaman blacklist kekal di neraka jika ada aturan yang dilanggar.

Aneh bin ajaib, Tuhan yang Maha Tau, Maha Penyayang, Maha Besar, seolah lebih sibuk menjadi petugas administrasi yang mencatat siapa yang bolong puasa, salah rakaat atau salah menyebut nama-Nya.

Jika Tuhan itu ibarat pemilik hotel bintang tujuh bernama "Surga", akankah Dia menolak tamu yang tidak mengisi formulir keimanan dengan benar?  Padahal si tamu membawa koper yang  penuh kasih sayang, kejujuran, dan empati?

LULUS DARI AGAMA

Tak sedikit individu di usia lanjut mengalami apa yang oleh psikolog eksistensialis disebut sebagai "spiritual disillusionment" semacam kelelahan eksistensial terhadap dogma, ritual, dan janji-janji akhir zaman yang tidak kunjung terverifikasi.

Mereka ini bukan ateis, bukan murtad, apalagi sesat. Mereka hanya merasa sudah “lulus” dari pelajaran agama formal.

Ritual tanpa penghayatan adalah seperti menyalakan lilin di siang bolong, ada terang tapi tidak menyala dalam hati. Dan terus terang saja, jika beragama hanya karena takut dianggap tidak taat  bukankah itu bentuk kemunafikan sosial? Hanya karena sungkan pada tetangga atau keluarga?

Maka dalam fase kematangan usia dan batin, hubungan dengan Tuhan tidak lagi bisa dipalsukan. Harus jujur, sejujur-jujurnya. Bahkan, jika kejujuran itu menyatakan, “Tuhan, aku lelah berpura-pura.”

Sejatinya moralitas adalah produk tertinggi dari kesadaran. Bukan produk eksklusif agama. Anak-anak yang diajarkan Budi Pekerti, orang-orang tua yang menjunjung kearifan lokal atau suku-suku yang menjaga harmoni alam tanpa kitab suci adalah juga menunjukkan kesalehan. Bahkan, dalam banyak riset antropologi moral, ilmuwan menyodorkan hasil kerjanya,  moralitas ternyata sudah muncul dalam perilaku sosial primata sebelum manusia mengenal konsep Tuhan.

Lalu mengapa kita harus merasa bersalah saat memilih menepi dari kerumitan dogma?

Apakah Tuhan hanya bisa ditemukan dalam ruang ibadah, bukan dalam ketulusan memberi, jujur bekerja atau menyapa tetangga dengan senyum?

Dalam perenungan, narasi surga dan neraka merupakan proyek fiksi terpanjang dalam sejarah. Padal sejarah kehadiran manusia sudah berlangsung 340 tahun. Tumbuhnya kehidupan sejak 3,4 milyar tahun silam.

Mari jujur lagi. Cerita tentang kehidupan setelah mati adalah kisah paling panjang tanpa bukti yang terus diwariskan turun-temurun. Tidak ada yang kembali dari neraka membawa catatan kaki atau pulang dari surga untuk memberi testimoni di podcast.

PERLU TATAG

Sementara itu  ilmu pengetauan telah menyibak tabir alam semesta, membuka peta DNA manusia juga  menjelaskan kompleksitas proses evolusi. Tak satu pun dari itu menggugurkan eksistensi Tuhan. Juga tidak mendukung narasi surgawi secara literal.

Kemerdekaan spiritual tidak menolak Tuhan tetapi menolak paksaan caranya bertemu Tuhan. Tuhan bukan entitas birokratis yang terikat jadwal dan liturgi. Dia, jika memang Maha Segalanya tentu tak akan tersinggung jika kita menemuinya lewat cara yang lebih manusiawi, melalui cinta, empati, kejujuran, melalui pemaknaan hidup yang utuh.

Jika kelak fiksi ternyata fakta, kalimat yang patut kita sampaikan adalah:  "Tuhan, aku ingin bertemu bukan karena takut tapi karena rindu."

Kemerdekaan spiritual adalah hak setiap jiwa yang telah melampaui jalan panjang beragama dengan sungguh-sungguh. Tidak semua orang mencapainya karena butuh keberanian, perlu tatag untuk merdeka dari rasa bersalah yang ditanamkan sejak kecil.

Bermodal moralitas dan kematangan batin, manusia tidak lagi perlu menyembah Tuhan karena takut neraka atau demi surga. Tapi karena sadar bahwa menjadi manusia seutuhnya adalah cara terbaik menghadirkan Tuhan dalam  kenyataan, dalam diri dan perilaku.

Jadi, kepada jiwa-jiwa yang ragu, jangan takut melepaskan simbol jika makna sudah digenggam. Jangan takut meninggalkan keramaian jika sunyi membuatmu lebih jujur. Jangan takut tidak terlihat taat.  Tuhan yang kau temui bukan buta, bukan tuli tentu saja tidak bisa ditipu.

Selamat menikmati sisa waktu secara merdeka. Merdeka dalam kemanusiaan  bukan dalam ketakutan. Karena Tuhan yang sejati tidak menakut-nakuti tapi memanusiakan.

Penulis : Rokimdakas

Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

IDUL ADHA 2025
Kopilot
LAINNYA