Isu keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo kembali mengemuka, mengisi ruang-ruang pemberitaan dan perdebatan publik baik di media sosial, media daring, maupun cetak.
Polemik ini bukan hal baru. Namun, tensi meningkat kala seorang warga, Bambang Tri Mulyono, mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2022.
Meski gugatan tersebut kemudian ditolak oleh pengadilan, isu ini terus dipolitisasi dan dimanfaatkan dalam narasi-narasi delegitimasi kekuasaan.
Kontroversi ini mencapai titik balik ketika mantan Presiden Jokowi mengambil langkah hukum dengan melaporkan balik pelapor ke pihak kepolisian atas dugaan penyebaran berita bohong.
Langkah ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan keputusan strategis yang mengandung makna penting dalam konteks penegakan hukum, pelestarian akal sehat publik, dan perlindungan terhadap martabat institusi kepresidenan.
Secara konstitusional, syarat menjadi presiden telah diatur secara tegas dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945.
Di antaranya adalah bahwa calon presiden harus warga negara Indonesia sejak lahir, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki pendidikan minimal tamat sekolah menengah atas atau sederajat.
Dengan demikian, keabsahan ijazah SMA menjadi elemen administratif yang melekat dalam proses verifikasi pencalonan.
Mekanisme ini dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu, yang telah melakukan verifikasi faktual atas seluruh dokumen yang diajukan oleh setiap pasangan calon, termasuk Jokowi.
Jika pada saat itu tidak ada keberatan yang sah secara hukum dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam masa penyelesaian sengketa pemilu, maka hasil pemilu bersifat final dan mengikat.
Maka, mempertanyakan kembali syarat administratif setelah proses pemilu usai bukan hanya tidak relevan, tapi juga menyalahi prinsip finalitas dan kepastian hukum dalam tata negara.
Legal Standing
Salah satu titik lemah dari gugatan yang diajukan Bambang Tri Mulyono adalah ketiadaan legal standing, atau kedudukan hukum yang sah.
Pengadilan memutuskan bahwa penggugat tidak memiliki dasar hukum maupun bukti kuat untuk mengajukan gugatan tersebut.
Selain itu, tidak terdapat dasar konstitusional yang memperbolehkan gugatan semacam ini diajukan setelah proses pemilu selesai dan presiden telah dilantik.
Seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, sengketa administratif dalam pencalonan presiden hanya dapat diajukan dan dinilai pada saat proses verifikasi, bukan setelah pelantikan.
Setelah seorang calon resmi menjabat sebagai presiden, maka gugatan terhadapnya tidak lagi dapat diproses di ranah administrasi, melainkan masuk dalam ranah politik dan etika.
Dalam konteks ini, tuduhan terhadap keabsahan ijazah Jokowi tidak lagi memiliki relevansi hukum. Apalagi, pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) telah berulang kali menegaskan bahwa Jokowi adalah alumnus sah Fakultas Kehutanan UGM.
Pernyataan resmi dari institusi pendidikan tinggi ini mestinya cukup untuk menghentikan spekulasi liar, namun tetap saja tuduhan terus digulirkan tanpa bukti yang sahih.
Antara Kritik dan Fitnah
Demokrasi memberi ruang seluas-luasnya untuk kritik. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh banyak pakar hukum tata negara, kritik harus berbasis fakta, tidak boleh berubah menjadi fitnah.
Dr. Refly Harun menyatakan bahwa jika seseorang meragukan keabsahan dokumen presiden, maka pembuktian harus ditempuh melalui proses hukum, bukan sekadar wacana yang berseliweran di ruang publik.
Pelaporan balik yang dilakukan oleh Jokowi bukanlah bentuk antikritik, melainkan penegasan bahwa kebebasan berekspresi memiliki batas ketika menyentuh hak dan kehormatan orang lain.
Ini juga menjadi momen penting untuk mempertegas batas antara kritik yang sah dan serangan pribadi yang destruktif.
Tindakan hukum Jokowi harus dilihat dalam kerangka menjaga marwah jabatan kepala negara sekaligus menegakkan prinsip supremasi hukum.
Jika seorang presiden dibiarkan menjadi sasaran tuduhan tanpa dasar secara terus-menerus, maka bukan hanya reputasi pribadinya yang dipertaruhkan, tapi juga wibawa institusi kenegaraan.
Ancaman Rasionalitas Publik
Fenomena ini juga mencerminkan kecenderungan judicial populism, yakni praktik mendesakkan agenda politik melalui jalur hukum berdasarkan tekanan opini publik, bukan melalui argumen hukum yang rasional dan berbasis bukti.
Ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi, karena dapat menjadikan lembaga peradilan sebagai alat politik kelompok tertentu.
Jika setiap viralitas bisa dijadikan dasar untuk menggugat keabsahan pejabat publik tanpa mekanisme pembuktian yang jelas, maka bangsa ini akan kehilangan pijakan hukum yang kokoh.
Seperti dikatakan oleh Hakim Konstitusi Prof. Saldi Isra: “Ketika hukum tidak lagi menjadi dasar berpikir, maka setiap kritik akan kehilangan arah dan menjelma menjadi hasutan.”
Menjaga Demokrasi dan Kualitas Diskursus Publik
Langkah Jokowi melapor balik pihak-pihak yang menyebarkan tuduhan palsu juga dapat dilihat sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat.
Bahwa dalam negara hukum demokratis, kritik itu penting, namun harus disertai tanggung jawab. Jika tidak, kita justru memberi ruang pada berkembangnya budaya hoaks dan fitnah yang merusak fondasi demokrasi itu sendiri.
Tindakan hukum ini mengirimkan pesan penting: bahwa jabatan publik tidak boleh dijadikan sasaran empuk bagi manipulasi informasi.
Bahwa integritas personal dan institusional harus dijaga, bukan hanya melalui klarifikasi, tetapi juga melalui jalur hukum yang sah.
Polemik ijazah Jokowi, jika dilihat dari kacamata hukum tata negara, sebenarnya telah selesai. Validasi telah dilakukan oleh lembaga resmi.
Proses pemilu telah berjalan sesuai koridor hukum, dan mandat rakyat telah diberikan melalui pemilu yang sah.
Namun, jika fitnah dan tuduhan tanpa dasar terus diulang, maka ruang demokrasi yang seharusnya diisi oleh gagasan dan solusi justru dipenuhi oleh kabut kecurigaan dan provokasi.
Ke depan, bangsa ini perlu lebih dewasa dalam menyikapi isu-isu publik. Kritik harus menjadi instrumen pembenahan, bukan alat pembusukan.
Langkah hukum Jokowi bukanlah respons defensif, melainkan langkah ofensif untuk menegaskan bahwa hukum harus tetap menjadi panglima, dan rasionalitas konstitusional harus menjadi arah dalam setiap diskursus kebangsaan.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi