Dalam beberapa waktu terakhir, mantan Presiden Joko Widodo dan keluarganya menjadi sasaran berbagai kritik tajam.
Dari mahasiswa, akademisi, hingga intelektual, suara-suara yang mempertanyakan kebijakan serta langkah politik Jokowi semakin nyaring terdengar, ditambah aksi demi mengadili Jokowi yang begitu marak.
Namun, di balik kritik yang tajam tersebut, ada satu fakta yang tak bisa diabaikan popularitas dan tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan Jokowi tetap tinggi.
Jokowi adalah satu-satunya presiden yang saat pensiun, rumahnya didatangi oleh ribuan warga dari pelosok tanah air, hanya sekadar untuk bisa bersalaman atau foto bersama.
Fenomena ini menarik untuk dikaji. Mengapa ada gelombang kritik yang begitu kencang, namun di saat yang sama, masyarakat secara luas masih merasa puas dengan kinerja presiden ke-7 RI ini.
Apakah kritik tersebut murni berdasarkan fakta, atau lebih didasarkan pada sentimen politik yang berkembang?
Salah satu masalah utama dalam kritik yang diarahkan kepada Jokowi adalah kurangnya landasan data yang kuat.
Kritik yang datang dari berbagai kalangan, terutama dari akademisi dan mahasiswa, sering kali lebih bernuansa emosional ketimbang berbasis fakta.
Misalnya, banyak yang menuding Jokowi gagal dalam menyejahterakan rakyat atau menyebut bahwa pembangunan infrastrukturnya hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Namun, jika kita menelisik data yang ada, klaim semacam itu tidak sepenuhnya benar. Di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia mengalami lompatan besar dalam pembangunan infrastruktur.
Jalan tol Trans-Jawa dan Trans-Sumatera, pembangunan bendungan, jalur kereta cepat Jakarta-Bandung, serta berbagai proyek lainnya menunjukkan bahwa pemerintah memang bekerja keras untuk meningkatkan konektivitas dan ekonomi nasional.
Dalam konteks ekonomi, meskipun pandemi COVID-19 sempat menghambat pertumbuhan, ekonomi Indonesia berhasil kembali tumbuh di atas 5% pada 2023.
Program bantuan sosial juga terus digelontorkan untuk masyarakat kelas bawah.
Jika kritik terhadap Jokowi menyebut bahwa ia gagal membawa kesejahteraan, maka kritik tersebut perlu dikaji ulang dengan melihat data yang lebih objektif.
Tak bisa dimungkiri, di tahun-tahun terakhir pemerintahannya, Jokowi berada dalam pusaran politik yang panas.
Kebijakan dan keputusan politiknya—seperti dukungannya terhadap Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024—membuat banyak pihak geram.
Isu dinasti politik pun mencuat dan menjadi amunisi baru bagi para pengkritiknya. Namun, di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa mayoritas rakyat tetap mendukung Jokowi.
Tingkat kepuasan terhadap pemerintahannya selalu berada di angka yang cukup tinggi, bahkan dalam survei terakhir sebelum Pemilu 2024, Jokowi masih mendapatkan tingkat kepuasan lebih dari 70%.
Ini menunjukkan bahwa meskipun kritik deras mengalir dari kelompok intelektual, realitas di lapangan berkata lain: masyarakat masih menaruh kepercayaan pada kepemimpinannya.
Antara Kritik dan Realitas Demokrasi
Dalam konteks demokrasi yang sehat, kritik terhadap pemerintahan adalah hal yang wajar. Namun, kritik yang konstruktif seharusnya berbasis data dan menawarkan solusi, bukan sekadar retorika politik semata.
Larry Diamond, pakar demokrasi dari Stanford University, menekankan bahwa demokrasi bukan hanya soal kebebasan berbicara, tetapi juga efektivitas pemerintahan.
Jika rakyat masih merasakan manfaat nyata dari kepemimpinan Jokowi, maka kritik yang hanya berbasis opini tanpa fakta menjadi kurang relevan.
Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay menjelaskan bahwa keberhasilan pemerintahan diukur dari kapasitasnya dalam menyediakan kebijakan publik yang efektif.
Jokowi, dengan program infrastruktur dan bantuan sosialnya, menunjukkan bahwa pemerintahannya tetap memiliki kapasitas kuat dalam membangun negara.
Robert Dahl, melalui konsep Polyarchy, menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya tentang kritik dari elite akademis, tetapi juga tentang respons pemerintah terhadap aspirasi mayoritas rakyat.
Dalam hal ini, Jokowi tetap memiliki legitimasi yang tinggi karena kebijakannya dirasakan oleh masyarakat luas.
Jokowi Dicintai Rakyat ?
Salah satu alasan utama mengapa Jokowi tetap memiliki basis pendukung yang kuat adalah gaya kepemimpinannya yang membumi.
Ia dikenal sebagai presiden yang rajin turun ke lapangan, mendengar langsung keluhan masyarakat, dan menunjukkan empati dalam setiap kebijakan yang diambil.
Selain itu, program-program yang ia jalankan langsung menyentuh kehidupan masyarakat kecil.
Program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan berbagai bantuan sosial lainnya telah membantu jutaan rakyat kecil dalam mengakses layanan dasar.
Ini adalah faktor yang sering kali tidak diperhitungkan oleh para pengkritiknya.
Masyarakat menilai pemimpin tidak hanya dari kritik akademis, tetapi juga dari dampak nyata kebijakan di kehidupan sehari-hari.
Jokowi berhasil menyentuh aspek itu, sehingga meskipun dihantam berbagai isu, dukungan terhadapnya tetap solid.
Kritik adalah bagian penting dari demokrasi, dan setiap pemimpin, termasuk Jokowi, harus siap menerima kritik.
Namun, kritik yang baik adalah kritik yang berbasis data, bukan sekadar retorika atau sentimen politik.
Mengkritik tanpa melihat keberhasilan pembangunan dan hanya berfokus pada aspek negatif justru membuat kritik itu kehilangan bobotnya.
Jika ada kebijakan yang dianggap salah, maka seharusnya kritik disertai dengan solusi, bukan sekadar cibiran atau ujaran yang tidak mendidik.
Pada akhirnya, Jokowi akan dikenang dengan berbagai kontroversinya. Namun, satu hal yang pasti meskipun kritik deras mengalir, rakyat masih menaruh kepercayaan padanya.
Dan itu adalah bukti bahwa kepemimpinannya telah membawa dampak nyata bagi banyak orang.
Penulis : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi