x
x

Media Provokator Kehilangan Bandar

Rabu, 12 Feb 2025 19:18 WIB

Reporter : Redaksi

Catatan kecil di Hari Pers 2025 ketika media gagal menjalankan agenda asing.

Ada pemandangan ganjil di dunia jurnalistik internasional. Sejak USAID ditutup, riuh rendah suara yang biasa menggema dalam ruang opini meredup. Seperti panggung sandiwara yang mendadak kehabisan naskah, para wartawan, aktivis, dan media yang biasa menjadi corong kepentingan asing kini terkatung-katung. Tanpa dukungan dana operasional, bagaimana mereka bisa melanjutkan orkestrasi kegaduhan yang selama ini mereka mainkan?

Di Indonesia, fenomena ini terasa jelas. Banyak media massa, wartawan, LSM, aktivis, ormas keagamaan yang selama ini setia menjadi kaki tangan kepentingan luar negeri kini kehilangan arah.

Mereka adalah perahu-perahu tanpa layar, ombak yang selama ini mendorong mereka berlayar kini surut. Jika sebelumnya mereka lantang menyuarakan demokrasi, transparansi, dan kebebasan berpendapat, sekarang mereka mulai kebingungan mencari alasan untuk tetap eksis.

MEDIA INDEPENDEN

Penutupan USAID oleh Presiden Donald Trump bukanlah keputusan sepele. Lembaga yang didirikan oleh John F. Kennedy pada 1961 sejak era Perang Dingin telah menjadi alat politik untuk menyusup ke berbagai negara. Lembaga ini memberikan bantuan ke lebih dari 100 negara di berbagai benua di seluruh dunia termasuk ke Asia Tenggara.

USAID atau United States Agency for International Development merupakan  Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat. USAID merupakan lembaga yang memberikan bantuan kemanusiaan, pembangunan, dan ekonomi untuk negara-negara lain.

Dalam suasana dunia era digital tanpa batas, Trump melihat USAID tak lebih dari sebuah mesin tua yang tak lagi efektif. Lembaga donatur ini sumber pemborosan yang harus segera dihentikan. Dengan satu keputusan, 10.000 pekerjanya diberhentikan dan aliran dana yang selama ini membiayai berbagai "media independen" di lebih dari 30 negara terhenti.

Menurut laporan Reporters Without Borders (RSF) di Paris, USAID telah mendanai 6.200 jurnalis, 707 media independen serta 279 LSM yang berfokus pada media sepanjang 2023. Dana yang berasal dari pajak rakyat Amerika itu disalurkan atas nama "kebebasan pers" dan dukungan terhadap media di negara-negara yang dianggap represif. Pertanyaannya, benarkah tujuan mereka sebatas kebebasan pers?

GANGGU JOKOWI

Sejarah menunjukkan bahwa agenda semacam ini kerap kali memiliki motif tersembunyi. Media-media yang didanai USAID bukan sekadar mengabarkan fakta namun memiliki misi tertentu, yakni mengganggu pemerintahan yang berseberangan dengan kepentingan Amerika Serikat.

Dalam berbagai kasus, mereka diarahkan untuk menelusuri celah, mencari kesalahan, dan menciptakan kondisi gaduh yang dapat menggagalkan program-program strategis nasional.

Indonesia tak lepas dari bidikan seperti itu. Program hilirisasi sumber daya alam yang digagas oleh presiden ketujuh, Joko Widodo menjadi sasaran kritik. Kebijakan ini mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah, yang secara langsung merugikan kepentingan industri di negara-negara maju.

Tak butuh waktu lama bagi media-media "independen" yang dibiayai asing untuk mulai membangun narasi negatif tentang Jokowi. Menciptakan wacana tentang korupsi, oligarki, dan berbagai tuduhan lain yang bertujuan mendiskreditkan kebijakan tersebut.

Inilah cara kerja mereka. Demokrasi, kebebasan berbicara, kesetaraan gender, transparansi anggaran. Semuanya dijadikan dalih untuk menyusup ke dalam kebijakan suatu negara. Namun, ujung-ujungnya, siapa pun yang menentang kepentingan Amerika harus dijadikan target.

Dengan terhentinya aliran dana dari USAID para "provokator" kehilangan bandarnya. Mereka seperti petinju yang kehilangan pelatih atau bidak catur yang kehilangan pemain. Kegaduhan yang mereka ciptakan mulai mereda karena tanpa suntikan dana sulit untuk tetap eksis.

Di sinilah kita perlu berpikir jernih. Jangan mudah terprovokasi oleh narasi yang dibangun oleh media, LSM atau ormas keagamaan yang selama ini bergantung pada kepentingan asing. Demokrasi dan kebebasan memang penting, tetapi ketika semuanya dijadikan alat untuk kepentingan negara lain, maka yang terjadi bukanlah kebebasan sejati melainkan penjajahan dalam bentuk baru.

Jangan mudah percaya pada mereka yang berbicara atas nama rakyat  padahal sejatinya mereka adalah antek-antek kekuatan asing. Jangan mau menjadi boneka dalam skenario yang dimainkan oleh dalang di seberang lautan.
Dan, yang paling penting, jangan mau dihasut oleh bajingan negara yang menjual kepentingan bangsa demi kepentingan bandar.

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA