Menyongsong Hari Pers Nasional 2025, sudah saatnya kita mengembalikan kejayaan jurnalisme Indonesia. Profesi wartawan perlu dilindungi dari pencemaran oleh wartawan gadungan atau "wartawan bodrek" yang tidak kompeten dan manipulatif. Regulasi tentang pendirian media massa dan sertifikasi kompetensi wartawan harus diperketat karena tampak adanya gejala penyimpangan.
Fenomena "wartawan gadungan" atau populer disebut "wartawan bodrek" telah menjadi potret buram dunia jurnalistik kita. Dengan dalih profesi, mereka menyulut keresahan, bukan hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga di tubuh institusi keamanan yang tampak ragu mengambil tindakan. Fenomena ini ibarat penyakit kronis yang menggerogoti kredibilitas pers sebagai pilar demokrasi.
Seharusnya wartawan menjadi penjaga moral bangsa, menyampaikan informasi yang benar, mengawasi jalannya kekuasaan dan mencerdaskan masyarakat. Namun peran mulia itu sekarang kerap ternoda oleh tindakan-tindakan manipulatif para pelaku yang mengaku wartawan tetapi tidak memahami esensi profesinya. Mereka tidak sekadar melanggar kode etik jurnalistik tetapi juga menodai kepercayaan publik terhadap media massa.
SETENGAH IBLIS
Profesi wartawan dahulu dihormati disandingkan dengan peran "setengah malaikat," seperti yang diungkapkan Gunawan Muhammad. Namun, hari ini, banyak yang menyimpang dari prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Alih-alih menjadi pengawal moral mereka menjelma "setengah iblis" yang mengadili dunia melalui berita yang diproduksi secara sembarangan. Kompetensi yang lemah, pengabaian kode etik dan praktik represif menjadi wajah baru segelintir pihak yang mencoreng nama baik profesi ini.
Tidak sedikit media yang dikelola tanpa pola manajemen yang benar. Fenomena ini terjadi karena kemudahan mendirikan media massa di era digital. Ironisnya, seperti yang diungkapkan Dr. Dhimam Abror Djuraid, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, saat ini ada sekitar 60.000 media di Indonesia tetapi tidak sampai 1.500 yang terverifikasi Dewan Pers. Mendirikan usaha tempe kini lebih sulit daripada mendirikan media massa.
Pers yang sehat adalah cerminan masyarakat yang sehat. Sebaliknya, pers yang sakit adalah manifestasi dari masyarakat yang juga sakit. Media massa yang dikelola serampangan tidak hanya merusak citra jurnalistik tetapi juga berpotensi merusak demokrasi. Wartawan yang "sakit" akan melahirkan pemberitaan yang bias, bahkan manipulatif, yang akhirnya menciptakan polusi informasi.
PR BESAR
Ketika wartawan yang tidak digaji oleh medianya mencari "penghasilan" dengan cara memeras, mereka sebenarnya telah meruntuhkan martabat profesi. Menjadi wartawan bukanlah sekadar pekerjaan, tetapi sebuah tanggung jawab moral untuk menjaga kebenaran dan keadilan.
Pekerjaan rumah terbesar adalah memperbaiki ekosistem pers dari hulu ke hilir. Wartawan harus dilengkapi dengan pelatihan yang memadai, memahami kode etik jurnalistik dan berkomitmen pada integritas. Di sisi lain, masyarakat juga harus cerdas dalam menyaring informasi dan kritis terhadap sumber berita.
Hanya dengan memperbaiki kualitas wartawan dan media kita bisa memastikan demokrasi berjalan sehat. Karena sejatinya wartawan adalah mata, telinga, dan suara rakyat. Jangan biarkan profesi mulia ini runtuh oleh ulah segelintir "penumpang gelap" yang merusak nilai-nilai jurnalistik. Jika wartawan adalah cermin bangsa maka pastikan cermin itu memantulkan kebenaran, bukan kepalsuan.
Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi