x
x

Nitizen. Bangsa Gaib Menggilas Ta'im

Sabtu, 07 Des 2024 10:23 WIB

Reporter : Redaksi

Hati-hati dengan bangsa gaib bernama nitizen. Mereka bukan sekadar penghuni  awang-awang tapi kekuatannya cukup untuk menggulingkan siapa saja bahkan tokoh yang berlindung di balik jubah agama sekalipun. Dunia nyata punya undang-undang tetapi jagat maya punya hukum bangsa gaib yang lebih tajam katimbang pedang hukum formal. Inilah kisah Ta’im, seorang dai kondang yang tumbang oleh penghakiman bangsa gaib setelah ulahnya di mimbar agama dianggap merendahkan martabat seorang pengasong es teh di Magelang.

Bagi yang belum tau, "trial by nitizen" adalah seni sirkus digital pengganti "trial by press". Dulu, media massa menjadi ancaman bagi pemuka masyarakat namun sekarang kursi panas itu digeser oleh jari-jari lincah bangsa gaib di media sosial. Media sosial bukan hanya menggantikan media massa sebagai corong opini publik namun juga menjadi "mahkamah rakyat" yang tak mengenal kata maaf. Hukumannya? Bukan kurungan melainkan kehancuran reputasi dalam kedipan mata. Kesaktiannya ngalah-ngalahi nabi asal Sleman, konon begitu katanya.

OFF SIDE

Catatan statistik amat mencengangkan. Dewan Pers mencatat ada 60.000 media massa di Indonesia  tetapi angka itu tidak berarti  apa-apa jika dibandingkan dengan 221,56 juta pengguna internet atau setara dengan 79,5% populasi negeri ini. Dengan kekuatan sedahsyat itu bangsa gaib bisa menggilas siapa saja yang berani melanggar adab. Ta’im yang lebih dikenal dengan nama panggung Gus Miftah sepertinya lupa akan fakta ini saat melontarkan umpatan  yang merendahkan wong cilik.

Dari sinilah tragedi itu bermula. Sebuah video ceramahnya viral memperlihatkan Ta’im berseloro soal seorang pengasong minuman yang oleh publik dianggap "off side". Segenap masyarakat bereaksi, mulai dari tokoh agama hingga partai politik. Bahkan Partai Gerindra, pengusung  Presiden Prabowo ikut memberikan tekanan. Serangan bangsa gaib memuncak lewat petisi daring bertajuk "Copot Gus Miftah dari Jabatan Utusan Khusus Presiden". Dalam tiga hari saja petisi itu berhasil mengumpulkan 254 ribu tanda tangan!

Akibat dibombardir bangsa gaib akhirnya Ta’im melempar handuk, menyerah. Di Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman tempat dia bermukim ia mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Utusan Khusus Presiden. "Keputusan ini saya ambil bukan karena ditekan siapa pun tetapi karena rasa cinta dan tanggung jawab saya terhadap Bapak Presiden Prabowo Subianto serta masyarakat," katanya. Pernyataannya  terdengar mulia namun siapa yang bisa mengabaikan tekanan bangsa gaib di balik layar?

DISKUALIFIKASI

Presiden Prabowo pun turut angkat bicara, menyebut pengunduran diri Ta’im sebagai bentuk tanggung jawab atas pernyataan kontroversialnya. Apakah ini benar tanggung jawab atau sekadar upaya menyelamatkan citra? Tentu jawaban itu hanya diketahui oleh mereka yang berada di lingkar kekuasaan.

Ulah Ta'im tak ubahnya nila setitik merusak susu sebelanga. Betapa tidak? Belum sebulan berkuasa sebagai presiden kedelapan, kepercayaan rakyat pada Prabowo di luar ekspektasi, sebuah survey mencatat 92% rakyat menaruh kepercayaan pada Presiden Prabowo bisa menciptakan pemerintahan yang bersih serta berharap mampu mewujudkan janjinya menyejahterahkan rakyat. Kepercayaan itu ditandai dengan ditangkapnya para koruptor serta ketegasannya dalam memimpin. Tiba-tiba tak ada hujan tak ada angin, Ta'im menghina pedagang kaki lima yang sangat dihormati Prabowo. Daripada merusak kepercayaan rakyat yang merupakan modal guna melaksanakan kerja-kerja besar lebih baik Ta'im di-diskualifikasi.

Kasus Ta’im merupakan bukti tak terbantahkan bahwa nitizen bukan sekadar komunitas internet. Mereka adalah entitas  gaib yang mampu mengguncang kursi kekuasaan. Apakah Ta’im sadar bahwa menghina penjual es teh di era digital sama berbahayanya dengan menghina bangsawan di zaman feodal? Atau mungkinkah bangsa gaib akan terus memburu hingga tak ada lagi ruang untuk menyatakan khilaf?

Saat sekarang, siapa pun yang "naik daun" harus menjaga adab lebih ketat daripada menjaga dompet. Karena bagi bangsa gaib kejatuhan bukan urusan takdir tetapi hukuman kolektif yang dijatuhkan secara gotong royong. Dengan  satu klik, sebuah kebesaran bisa remuk dalam hitungan detik.

Sulit dipercaya tapi inilah kenyataannya. Nitizen bukan hanya bangsa gaib, mereka adalah cermin kekuatan yang tak  bisa diremehkan. Para pemimpin harus belajar dari kisah Ta’im karena mahkamah rakyat tidak mengenal kata maaf.

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA