JATIMKINI.COM, Kepala desa sebagai garda depan pemerintah yang mengurus kepentingan rakyat kini menjadi sorotan sejak ramai diberitakan banyak lurah di berbagai wilayah tersangkut kasus korupsi dana desa. Untuk menelisik permasalahan desa, Rokimdakas menemui Fathur Rozi, sebagai Kepala Desa Munggu Gianti, Benjeng, Gresik, Jawa Timur.
Lurah Rozi menjabat tiga periode, masa bhaktinya berakhir pada tahun 2030. Berikut kutipan dialog di rumahnya lurah, Minggu, 17 Nopember 2024 siang kemarin
Kim : Akhir-akhir ini banyak lurah ditangkap gegara korupsi dana desa, komentar Anda?
Rozi : Membangun desa itu ibarat membeli tanah yang melibatkan makelar, dalam prakteknya perantara tersebut diperankan oleh anggota dewan. Tradisi seperti inilah yang mengakibatkan dana yang diterima tidak pernah utuh sedangkan spesifikasi pembangunannya diharuskan sesuai dengan nilai yang tertera dalam kuitansi penerimaan. Kenyataan ini menjadikan desa menelan buah simalakama, jika tidak diterima tidak akan ada pembangunan namun jika diterima harus cerdik menyiasati kenyataan. Pahit tapi harus ditelan.
Kim : Sangat dilematis ya?
Rozi : Persoalan di lapangan tidak berhenti sampai di situ. Begitu proyek pembangunan berlangsung, orang-orang yang mengaku 'wartawan' gemberuduk, datang berombongan untuk mencari-cari kesalahan. Meski diberikan penjelasan tidak akan berarti karena orientasi mereka bukan untuk mencari bahan berita tapi uang.
Kim : Selain tikus, wereng, ulat atau burung pipit yang menjadi predator di pedesaan juga wartawan ya?
Rozi : Sepertinya begitu. Bahkan ada teman lurah desa sebelah, jika tidak mengantongi uang cash tigaratus ribuan tidak berani ngantor.
Kim : Whiks!?.. Separah itu wartawan bodrek?
Rozi : Selain gerombolan wartawan ada juga rombongan lain yang mendaku sebagai aktivis sosial berkedok LSM. Belum lagi aparat, petugas pengawas, banyak sekali yang menganggap dana desa untuk dijadikan bancakan. Jika saja 'tamu' tak diundang itu didata maka bisa lebih sepuluh klaster pengutip pajak gelap pembangunan desa. Ini lingkaran setan.
Kim : Sebagai wartawan saya sangat sedih melihat kenyataan seperti itu. Kasihan citra teman-teman wartawan yang baik
Rozi : Ya maaf saja, sampai sekarang mana ada tindakan konkret dari organisasi pers yang menangani mereka. Kami yang di bawah terus terang kewalahan menghadapi modus seperti itu.
Kim : Kalau beberapa kementrian sekarang membentuk intelejen, sepertinya perlu juga diadakan intelejen pers untuk menangani orang-orang yang mengatas-namakan jurnalis tetapi tindakannya justru bertentangan dengan etika pers.
Rozi : Bukan kapasitas saya untuk mengatakan. Seharusnya masalah itu dipikirkan oleh lembaga pers supaya kepercayaan masyarakat pada media tidak semakin buruk. Citra wartawan yang dulu dibanggakan sekarang hancur.
(Sebutan 'wartawan bodrek' begitu populer di kalangan umum dalam menyebut orang-orang yang mengaku sebagai wartawan. Mereka biasa datang secara berombongan seperti iklan Bodrex, obat sakit sakit kepala. Tapi bodrek yang satu ini justru membuat banyak pihak sakit kepala).
Kim : Kita kembali membahas desa. Opini publik begitu miring dalam menilai penggunaan dana desa, bagaimana tanggapan Anda?
Rozi : Analoginya, kepala desa itu setara anak Paud atau Taman Kanak Kanak. Yang namanya anak tidak bisa disalahkan. Jika dilepaskan di jalanan akan bisa ketabrak mobil. Keselamatan anak-anak itu tergantung pada pendampingnya. Begitu juga ketika sedang melaksanakan program pembangunan.
Kim : Siapa saja yang mendampingi?
Rozi : Sebelum dilaksanakan pembangunan terlebih dulu dilakukan studi kelayakan. Ada rencana anggaran belanja. Ada monitoring evaluasi dari inspektorat, dinas terkait, kecamatan dan lain-lain. Jika saat monitoring didapati indikasi kesalahan kan harus di dihentikan.
Kim : Pada kenyataannya tidak begitu?
Rozi : Desa itu tidak akan melakukan jika sistemnya benar dan semua pihak berani jujur. Kenyataannya sistemnya salah sejak awal. Sejak mulai pemilihan saja sudah salah. Ayolah kira jujur bahwa ini kesalahan bersama.
Kita semua tau, dana yang diberikan ke desa berasal dari APBN atau APBD kemudian orang dewan jadi makelar. Selama ini ada makelar-makelar proyek dilakukan oleh orang dewan.
Kim : Sangat aneh kenyataan ini?
Rozi : Dana Itu bukan dana milik dewan tapi pemberiannya mempertimbangkan 'pokir' atau pokok pikiran yang diajukan orang dewan berdasar usulan atau pengajuan program dari desa.
Kim : Kenapa harus lewat orang dewan?
Rozi : Seharusnya langsung saja dari desa diajukan ke kabupaten atau provinsi, tidak harus lewat makelar dewan.
Kim : Yang namanya makelar tidak ada gratisan mas !!!
Editor : Ali Topan