JATIMKINI.COM, Eman jika punya teman yang memiliki predikat bagus lalu tidak ditimba pemikirannya untuk menemukan kembali jalan lurus jurnalisme yang sedang salah arah. Tahun 1980an, bersama Abror, kami lahir di bangku yang sama, dia tumbuh berkembang sebagai wartawan Jawa Pos sedangkan saya di Surabaya Post.
Berikut dialog Rokimdakas ( Jatimkini.com) bersama Dr. Dhimam Abror Djuraid, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat periode 2024-2029.
Kim : Dengar-dengar akan ada even besar jurnalistik, kapan?
Abror : Iya, agendanya bulan Nopember mendatang di Bali membahas dinamika jurnalistik kontemporer Indonesia.
Kim : Awakmu peserta atau pemrasaran?
Abror : Aku diminta untuk jadi pembicara dalam kapasitas Dewan Pakar PWI.
Kim : Tema apa sing mbok usung?
Abror : Saya berangkat dari membaca kenyataan dunia pers masa kini. Perlu diketaui bahwa di Indonesia sekarang ada 60.000 media online tapi yang dinyatakan memenuhi standarisasi oleh Dewan Pers tidak sampai 2000.
Kim : Itu artinya apa?
Abror : Artinya, begitu banyak media yang belum dikelola secara layak, tanpa manajemen yang benar, wartawannya belum memiliki kompetensi juga belum mematuhi kode etik jurnalistik.
Kim : Pers yang dulu terhormat kenapa bisa jadi begitu?
Abror : Yang terjadi sekarang itu jawaban atas tuntutan masyarakat pers pada pemerintah untuk tidak mengekang kebebasan pers. Tuntutan itu dikabulkan kemudian masyarakat pers membentuk Dewan Pers yang tugasnya mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
Kedua, fenomena ini akibat dari mudahnya persyaratan membuat media. Cukup mengurus akte notaris sama surat keterangan dari Kemenkumham, sudah. Penerbitan atau penayangan media sudah bisa dilakukan. Sekarang ini lebih sulit mengelola pembuatan tempe dibanding menerbitkan media.
Kim : Skema apa sing mbok tawarkan untuk mengatasi kondisi sekarang?
Abror : Aku menawarkan dua pilihan, merger atau ditutup. Untuk media yang tidak memenuhi persyaratan menejemen dan kompetensi bisa menduplikasi skema kementrian pendidikan, yaitu perusahaan media yang tidak dikelola dengan benar didorong melakukan merger dengan perusahaan yang sehat. Tawaran kedua, ditutup. Media yang tidak memenuhi syarat untuk merger juga tidak mampu memenuhi ketentuan Dewan Pers, ditutup saja.
Kim : Sejauh mana otoritas Dewan Pers untuk melakukan?
Abror : Itulah dilematis. Tidak ada otoritas Dewan Pers untuk menutup perusahaan media.
Kim : Apa berhenti sampai di situ?
Abror : Yang bisa dilakukan Dewan Pers adalah memberikan status pada media "terverifikasi". Selanjutnya seleksi alam yang akan menentukan. Seleksi alam dimaksud adalah, publik harus berani mengoreksi legalitas wartawan? Dengan begitu lambat laun akan meruntuhkan kredibilitas wartawan yang tidak memenuhi syarat profesionalitas. Kalangan instansi yang biasa memberikan donasi pemuatan iklan juga harus berani mesyaratkan adanya keterangan sudah diverifikasi Dewan Pers. Dengan begitu medianya akan berhenti, bubar dengan sendirinya.
Kim : Apa pihak aparat atau instansi berani setegas itu?
Abror : Jika mereka lurus-lurus saja ngapain takut. Orang takut bersikap karena diam-diam korupsi.
Kim : Itu sih nyopet duwite perampok?
Kim : Ngene ceritane Bror, bukannya media anyaran itu tidak mau mengurus verifikasi ke Dewan Pers, ada keinginan untuk itu tapi kan nggak mudah ...
Abror : Jika kelengkapan administrasi terpenuhi kan tinggal diajukan doang lalu menunggu diverifikasi?
Kim : Masalahnya justru di situ. Dalam struktur kelembagaan harus ada wartawan yang sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) jika ada yang membutuhkan orang seperti itu, ada yang pasang tarif.
Persyaratan lain agar bisa diverifikasi adalah masalah honorarium wartawan maupun perangkat perusahaan, umumnya tidak ada yang mampu memenuhi. Kalau toh dalam surat pengajuan verifikasi tertera nominalnya, itu rekayasa. Karena realitanya tidak ada pemberian honorarium. Meski tidak diberi honor tetapi wartawannya mau karena di lapangan berharap bisa transaksi dengan pihak yang diberitakan. Intinya, wartawannya disuruh mencari bayaran sendiri. Pelanggaran etika ini lambat laun dianggap normal.
Abror : Begitulah deviasi sosial, penyimpangan etika jurnalistik yang kemudian dianggap normal.
Kim : Untuk mengatasi media di Indonesia, bagaimana formulanya?
Abror : Belum ada formula yang manjur untuk mengatasi semua kasus.
Kim : Lalu masyarakat pers menyerah begitu saja? Bukannya pada pemerintahan yang baru sepatutnya masyarakat pers juga melakukan pembaruan, misal regulasi peraturan yang lebih ketat?
Abror : Tidak boleh ada regulasi pemerintah karena bertentangan dengan kebebasan pendapat yang dijamin Undang Undang Dasar.
Kim : Di atas kebebasan adalah kepentingan umum. Kalau hanya untuk menjunjung kebebasan berpendapat tapi kemudian merusak nilai-nilai sosial, apa artinya kebebasan?
Abror : Aku setuju.
Kim : Apa fenomena seperti ini juga berlangsung di negara lain?
Abror : Memang, fenomena jurnalisme yang ada juga terjadi di seluruh dunia. Ada istilah 'yellow journalism' atau jurnalisme kuning yang dipelopori Joseph Pulitzer. Gaya penulisannya lebih menonjolkan sensasional daripada fakta guna menarik perhatian dan keuntungan, sehingga seringkali kurang etis dan tidak memiliki standar etika jurnalistik.
Berkat jurnalisme kuning Joseph Pulitzer menjadi kaya raya tapi di akhir hayatnya dia insyaf kemudian menghibahkan seluruh kekayaannya untuk mendukung pertumbuhan jurnalisme berkualitas, sampai sekarang.
Kim : Sepertinya wartawan sulit menemukan jalan lurus?
Abror : Wis kadung dadi negara liberal.
Kim : Perlu ganti haluan ke sosialis.
Editor : Ali Topan