x
x

Revisi PP No.109 Tahun 2012 di Anggap Membawa Kehancuran Industri. Masalahnya Begini…

Kamis, 23 Feb 2023 10:19 WIB

JatimKini

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan secara tegas mengatakan, revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.109 Tahun 2012 yang dilakukan oleh pemerintah yakni, tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi Kesehatan dianggap tidak tepat.

Menurutnya, revisi tersebut justru merusak dan membawa kehancuran bagi industri Hasil Tembakau (IHT) legal karena aturannya menjadi semakin restriktif dan menutup ruang untuk berusaha.

Jales sangat tidak tepat dengan revisi itu. Padahal selama ini IHT sudah tertekan karena pengenaan tarif cukai yang semakin tinggi, pembatasan promosi, penjualan, dan lain sebagainya, kata Henry di sela-sela acara Sarasehan Ekosistem Pertembakauan di Gedung Graha Kadin Jawa Timur, Surabaya kemarin

Henry menyebutkan, bahwa PP 109/2012 ini sebenarnya sudah ideal karena mengatur dengan baik kegiatan pemasaran produk tembakau sebagaimana mestinya. Namun hal ini belum diikuti dengan kegiatan edukasi serta pengawasan yang tepat.

Edukasi dan pengawasan inilah yang semestinya didorong oleh pemerintah, dan bukan malah merevisi peraturan yang sudah baik menjadi restriktif sehingga berdampak pada jutaan orang yang menopangkan hidupnya pada industri tembakau, ungkapnya.

Sementara itu Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Mahmudi menegaskan, revisi PP tersebut bisa berdampak pada penurunan harga tembakau petani akibat turunnya serapan tembakau oleh industri, luas area lahan tembakau dan jumlah petani akan berkurang dan lapangan pekerjaan dari hulu (perkebunan) sampai hilir di industri dan perdagangan akan menurun.

Petani dan industri adalah saudara, jika industri dicubit, yang sakit ya petani karena sampai saat ini belum ada peruntukan lain dari tembakau selain untuk rokok dan susur. Kalau PP ini direvisi, kami yakin jumlah perokok juga tidak akan berkurang tetapi harus ada keadilan karena pendapatan pemerintah dari cukai itu naik, maka petani juga harus dapat input, jangan cukai naik, harga tembakau tetap saja, katanya

Mahmudi juga menjelaskan, APTI mencatat tanaman tembakau di Indonesia dikembangkan di 15 provinsi dan kurang lebih ada di 92 kota/kabupaten dengan total luas area pada 2021 mencapai 218.477 ha, dan jumlah produksi 244.414 ton. Jumlah petani tembaku di Indonesia mencapai lebih dari 1,54 juta orang dengan menyerap buruh tani sebanyak 10,73 juta orang.

Tembakau sebagai bahan baku utama rokok masih menjadi komoditi unggulan bagi petani dan pemerintah setiap tahun, tentunya komoditi ini memberikan dampak positif pada perekonomian rakyat dan kas negara dengan target pemasukan cukai 2023 mencapai Rp203 triliun, bebernya

Disisi lain, Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto mengungkapkan, di dalam menghadapi kondisi ekonomi dan politik dunia yang tidak menentu, IHT sepatutnya diperlakukan secara adil dan diberi perlindungan yang sama dengan industri lainnya.

Output dari sarahsehan para pemaku kepentingan sektor pertembakuan ini salah satunya adalah petisi untuk menolak revisi PP 109/2012 yang nantinya akan disampaikan dalam sebuah surat resmi kepada Presiden RI, ujar Adik

Menanggapi hal itu, anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun secara tegas meminta pemerintah untuk bersikap bijak dan obyektif dengan melindungi IHT mengingat industri ini adalah salah satu kontributor Penerimaan negara terbesar.

Ada mata rantai kehidupan dalam tembakau mulai dari pertanian sampai fabrikasi, lalu di antara petani dengan pabrik, ada pedagang. Ini menjadi ekosistem tersendiri. Maka ketika mengambil keputusan terkait IHT, perlu dilihat dari seluruh aspek mulai dari petani, lapangan kerja, potensi produk ilegal, dan potensi penerimaan negara, jadi tidak hanya aspek kesehatan, pungkasnya.Saat ini pemerintah sedang melakukan revisi PP No.109/2012 karena dianggap tidak efektif menurunkan prevalensi perokok pada anak. Pemerintah sendiri menargetkan pada 2024 jumlah perokok anak usia 10-18 tahun bisa turun menjadi 8,7 persen

Data Kemenko menyebutkan pada 2018 sebanyak 75 persen perokok pemula dimulai dari usia di bawah 20 tahun. Bahkan 23,1 persen perokok pemula memulainya dari usia 10 hingga 14 tahun, dan sebanyak 52,1 persen dari usia 15 hingga 19 tahun.

Populasi anak usia 10 hingga 18 tahun pada 2018 tercatat sebanyak 36.289.154 jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 9,1 persen atau setara 3.302.313 jiwa sudah jadi perokok. Padahal pada 2013, jumlah perokok anak hanya 7,2 persen atau setara 2,9 juta jiwa.

Pada 2024 diprediksi akan ada penambahan jumlah anak usia 10 - 18 tahun atau sebanyak 37.168.850 jiwa. Tanpa penguatan intervensi prevelensi perokok anak, dikhawatirkan perokok anak bisa mencapai 15 persen (5.575.328 jiwa)

Editor : Redaksi

LAINNYA