JATIMKINI.COM, Diam-diam Pemerintah Kota Surabaya berencana menerbitkan peraturan tentang kenaikan pajak dan retribusi sebesar 150 hingga 450 persen. Aksi senyap tersebut menyentak industri periklanan yang baru siuman dari mati suri pasca pandemi. Untuk menyikapi rencana tersebut, Persatuan Perusahaan Perikalanan Indonesia (P3I) Jawa Timur yang menaungi menggelar dialog bersama wartawan di Balai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Rabu 17 Januari 2024 siang.
Forum tersebut dihadiri Ketua P3I Jatim Haris Purwoko, Sekretaris Umum Agus Winoto (AW) beserta jajaran pengurus lembaga tersebut. Hadir pula Ketua PWI Jatim, Ludfil Hakim mengawal prosesi dialog. JatimKini.com (JK) melaporkan dengan format tanya jawab berikut:
JK : Sebagai pemangku kepentingan, bukankah Pemkot tidak begitu saja menerbitkan rencana penerbitan peraturan yang menyangkut kepentingan industri yang menopang perekonomian daerah?
AW : Memang idealnya Pemkot perlu bekerjasama dengan pihak yang berkepentingan namun kenyataannya kami tidak dilibatkan dalam proses. Perlu diketaui bahwa penyusunan Peraturan Daerah diterbitkan pada tanggal 27 Desember 2023 kemudian dilaksanakan per 1 Januari 2024. Baru kemudian melakukan sosialisasi pada tanggal 17 Januari 2024. Prosesnya tidak transparan, sangat janggal karena begitu tergesah-gesah, ini ada apa?
JK : Menurut perundangan prosedurnya bagaimana?
Agus : Jika bersandar pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022 dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis. Baik secara perseorangan maupun kelompok yang terdampak langsung atas rancangan peraturan.
JK : Langkah-langkah yang patut dilakukan Pemkot?
Agus : Pemkot perlu menggelar rapat dengar pendapat, melakukan kunjungan kerja atau menyelenggarakan dialog maupun konsultasi publik.
JK : Peraturannya kan belum ditetapkan, apa yang diharapkan P3I?
Agus : Kami berharap supaya masalah tersebut tidak dilanjutkan mengingat penerbitan Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah akan diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Walikota sebagai instrument pelaksanaan.
JK : Kasus “silent action” seperti itu bukankah pernah Pemkot lakukan pada tahun 2010-2011?
Agus : Pada waktu itu kasusnya sama, tanpa melibatkan masyarakat periklanan tiba-tiba berencana menaikkan pajak iklan sebesar 1.600 persen. Setelah medapat berbagai tekanan kemudian diturunkan menjadi 600 persen. Pelaku industri periklanan tidak berkutik akhirnya menyerah dengan menerima keputusan pahit tersebut.
JK : Dalam jedah sepuluh tahun terakhir, rasionalitas angka kenaikan pajak yang direncanakan Pemkot itu bagaimana?
Agus : Apabila lonjakan pajaknya didasarkan pada perhitungan inflasi, sewajarya kenaikannya berkisar antara 6 sampai 7 persen. Dengan begitu kenaikan pajak reklame baru dapat dilakukan kembali setidaknya pada tahun 2031. Masih butuh waktu membangun kemampuan. Itu sebabnya sangat ironi jika tiba-tiba akan diterbitkan peraturan baru dengan tingkat kenaikan yang fantastis. Untuk pajak billboard dinaikkan 150 persen sedang videotron lebih dari 450 persen. Ini kebijakan yang membunuh industri perikalanan.
JK : Dampak terburuknya?
Agus : Kita semua tau bahwa dampak pandemi covid seluruh dunia usaha terpuruk, kondisi perekonomian terdampak oleh perang di Ukrania. Di tengah kepungan masalah seperti itu industri reklame belum mampu bekerja normal. Jujur, kami tertatih-tatih. Dengan kondisi yang sekarang saja kami berusaha bertahan hidup agar tidak melakukan PHK secara massal.
Jika Pemkot tetap menaikkan tarif pajak reklame di luar batas kewajaran akibatnya tidak hanya membunuh industri reklame tetapi juga menjadi memicu PHK besar-besaran. Pemkot harus mempertimbangan secara bijak sebelum melakukan kesalahan besar.
Editor : Ali Topan