x
x

Demi Anak Surabaya, Pemerintah Batasi Aktivitas Malam: Solusi atau Simptom?

Sabtu, 21 Jun 2025 20:03 WIB

Reporter : Rochman Arief

JATIMKINI.COM, Pemerintah Kota Surabaya kembali mengambil langkah tegas dalam isu perlindungan anak. Terbitnya Surat Edaran (SE) Nomor 400.2.4/12681/436.7.8/2025, Wali Kota Eri Cahyadi menetapkan kebijakan pembatasan jam malam anak, sebuah bagian dari komitmen menjadikan Surabaya sebagai kota ramah anak.

Dalam surat edaran itu, anak didefinisikan secara luas, tidak hanya yang belum genap 18 tahun, tetapi juga termasuk yang masih dalam kandungan. Pemerintah menyatakan bahwa langkah ini upaya melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, serta ekses negatif pergaulan malam.

“Kita ingin menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif untuk tumbuh kembang anak,” kata Eri Cahyadi, Sabtu (21/6/2025), dalam pernyataan resminya. Ia mengaitkan kebijakan ini dengan komitmen Surabaya dalam jejaring Child Friendly Cities Initiative (CFCI) milik UNICEF.

Jam malam ini berlaku setiap hari, dimulai pukul 22.00 WIB hingga 04.00 WIB. Selama rentang waktu tersebut, anak-anak dilarang melakukan aktivitas di luar rumah tanpa pengawasan orang tua atau alasan yang dapat diterima.

Namun, beberapa pengecualian tetap diberikan. Antara lain bagi anak yang mengikuti kegiatan sekolah, keagamaan, atau kegiatan sosial yang mendapat persetujuan orang tua. Situasi darurat juga masuk dalam pengecualian.

Di dalam SE juga menggarisbawahi sejumlah larangan. Misalnya, anak terlibat dalam komunitas tertentu yang bisa ‘membahayakan. Sebut saja komunitas punk, gangster, balap liar, dan kelompok dengan dugaan keterlibatan narkoba.

Anak-anak juga dilarang berada di tempat yang dianggap berisiko seperti warung kopi, warung internet, penyedia game online, maupun sekadar nongkrong di jalanan saat malam hari.

Alih-alih pendekatan hukum atau represif, Pemkot Surabaya mengklaim akan mengedepankan metode persuasif dan edukatif. Anak-anak yang terjaring razia jam malam akan dibina. Jika pelanggaran berulang, akan diarahkan mengikuti program pembinaan seperti Rumah Perubahan atau Rumah Ilmu Arek Suroboyo (RIAS).

Sanksi juga berlaku bagi orang tua. Mereka yang abai terhadap keberadaan anaknya di malam hari wajib mengikuti kelas parenting. Pengawasan terhadap keluarga pun diperluas hingga tingkat RT, RW, dan kelurahan.

“Orang tua wajib menjadi garda terdepan. Mereka harus memastikan anak-anaknya bangun pagi, tidur cepat, makan sehat, dan menjauh dari pengaruh buruk,” kata Eri menegaskan, merujuk pada konsep “7 Karakter Anak Indonesia Hebat”.

Kebijakan ini menyasar individu sekaligus menuntut keterlibatan kolektif. Pemkot mendorong pengaktifan kembali sistem keamanan lingkungan seperti Siskamling dan Jogo Tonggo Suroboyo. Peran tokoh agama, tokoh pemuda, hingga relawan kampung juga diundang untuk terlibat dalam pengawasan yang ‘ramah anak’.

Orang tua didorong menerapkan gerakan ‘1 Jam Berkualitas Tanpa Gawai Bersama Keluarga’, sebagai sebuah ajakan yang terdengar sederhana, tapi sulit direalisasikan dalam era digitalisasi masif seperti sekarang.

Pembatasan jam malam anak di Surabaya ini memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana negara, atau dalam hal ini pemerintah kota, ikut campur dalam kehidupan privat anak dan keluarganya?

Editor : Rochman Arief

LAINNYA