JATIMKINI.COM, "Biarkan anak-anak menulis sejarahnya sendiri, merekalah pemilik masa depan." Diantara sederet sanggar yang membangun atmosfir kesenian Kota Surabaya, yang paling tua adalah Bengkel Muda. Sudah 51 tahun usianya, Jumat 23 Desember 2023, perayaannya dilangsungkan di Balai Pemuda, di situlah sekretariatnya berdiri sejak Bengkel lahir di tahun 1972.
Kalo ngomong dahulu kala, orientasi BMS adalah menggodok calon aktor, penyair, musisi atau perupa dengan pola pengembangan yang unik. Tidak ada silabus, tidak ada teori juga tidak ada kewajiban menguasai literasi tertentu. Tapi kok bisa melahirkan seniman dan wartawan handal?
Di Bengkel Muda itulah tempat Gombloh, Franky Sahilatua, Leo "Kristi" Imam Soekarno, juga Naniel, mereka kemudian populer di altar musik Indonesia. Ada juga Niki Kosasih penulis drama radio Saur Sepuh. Ada Arthur Jhon Horoni yang meroket sebagai penyiar radio. Kalangan tuanya ada dramawan Basuki Rahmat, Akudiat dan Hare Rumemper dan seabreg wartawan. Hampir 80 persen arek Bengkel berprofesi sebagai jurnalis.
Kok bisa begitu? Nah, itu yang dibilang unik. Tidak ada pembelajaran khusus, arek-arek hanya dihajar latihan bertahun-tahun. Ketika latihan kita merasa sebagai satu grup tapi setelahnya bersaing antar person. Setiap orang memiliki spirit untuk mengembangkan diri untuk saling berbeda dengan lainnya.
Jadinya BMS seperti PWI, arek-arek mencoba mencari rezeki dengan menjadi wartawan, dan tidak ada yang satu kantor. Dimana ada media disitu ada arek Bengkel. Padal tidak ada pelatihan jurnalistik atau menulis. Atmosfir yang membentuk mereka terjangkiti virus jurnalis.
Sam Abede Pareno, Agil H Ali, Vincentius Jauhari, Basuki Rahmat adalah sedikit nama jurnalis yang di masa mudanya bercokol di Bengkel. Dari merekalah virus itu tanpa disadari menular pada arek-arek Bengkel yunior.
Masing-masing jor-joran membaca buku bagus, aktif di forum dialog, rerata seneng ngeyel untuk melatih keberanian mengutarakan pikiran. Setelah pinter, ambyar sediri-sendiri, membentuk kelompok yang dianggap seirama dengan obsesinya.
Ada Zainuri membentuk grup Bledheg Sigar, ada Syaiful Hajar dengan Kelompok Senirupa Bermain, macem-macem. Saya sendiri keluar kandang membentuk Federasi Artis, Asosiasi Hiburan Malam, macam-macam. Saya pernah bilang sama teman-teman, "Jika ingin tau seberapa kesaktianmu, keluarlah dari kandang Bengkel."
Sekarang bagaimana dengan sanggar? Waktu tak bisa disetel ulang, begitu juga target capaian sanggar. Di zaman medsos bukan main sulitnya mengelola sanggar. Karena itu orientasinya perlu digeser, tidak lagi menyiapkan aktor, penyair atau pelukis tetapi menyasar pada kalangan anak untuk menanamkan memori kesenian sebanyak mungkin. Apakah kelak mereka berlanjut menggemari kesenian atau lainnya, biar waktu yang mengawal passionnya.
Kedua, wong lawas Bengkel banyak yang nggak sadar jika mereka menyimpan harta karun. Apa itu? Kemampuan mereka berkesenian yang telah diasah begitu lama itulah harta yang tak terhingga. Kini di era digital sebetulnya waktunya seniman mendulang penghasilan yang menjanjikan dengan mengandalkan daya kreatif miliknya. Harta karun ini perlu dieksplor secara digital, apakah berupa pembacaan puisi, cerpen, novel, drama pendek, latihan dasar teater atau podcast ala warkop membahas kesenian. Bila produktivitasnya terjaga, perhatian publik akan mengarah ke Bengkel. Dengan begitu tidak perlu lagi bersusah payah membangun program pencitraan untuk menarik orang luar ke Bengkel. Polanya perlu dibalik.
Sebagian orang Bengkel yang gagal move on masih terpenjara oleh masa lalu, mereka mengidap sindrom memoria, selalu mengagungkan masa lalu tanpa menyadari bahwa kereta sudah berpacu dengan cahaya.
Jika orientasi program Bengkel sekarang fokus mendampingi anak-anak seraya menanamkan memori kesenian maka biarkan mereka yang kelak menulis sejarahnya sendiri.
Setetes keringat merawat sanggar lebih bermakna dibanding beribu kata. Merawat Bengkel adalah merawat kesenian.
Kesenian tidak akan mati, ia terus berubah karena sejatinya yang abadi itu hanyalah perubahan. Tidak ada pilihan lain, Bengkel pun patut berubah.
Editor : Ali Topan