Reporter : Alvian Yoananta
JATIMKINI.COM, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menyebut upaya penegakan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) masih perlu ditingkatkan lantaran implementasinya selama ini masih kurang.
Ketua Research Group Tobacco Control (RGTC) FKM Unair, Prof. Dr. Santi Martini mengatakan untuk di Kota Surabaya sendiri, pihaknya mengapresiasi karena sejak 2008 telah memiliki Perda KTR yang kemudian direvisi dan disesuaikan dengan UU Kesehatan No.36.
“Sekarang kita tinggal memonitor, evaluasi pelaksanaanya. Kita ikut serta implementasinya ternyata masih yang belum menerapkan KTR ini sebesar 45 persen. Jadi masih ada upaya agar sarana kesehatan yang masuk KTR ada 8 kawasan itu diterapkan dengan benar,” jelasnya seusai kegiatan Deseminasi dan Konferensi Pers Kota Surabaya Menuju 100 persen Implementasi KTR, Kamis (21/12/2023).
Adapun 8 sarana yang masuk dalam KTR di Surabaya adalah sarana kesehatan, sarana pendidikan, area bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat lainnya yang diatur oleh walikota.
Menurutnya, di Surabaya masih banyak iklan rokok yang menjadi PR Kota Surabaya agar tidak ada lagi iklan rokok. Dari data riset Kementerian Kesehatan, ternyata iklan rokok sangat mempengaruhi anak-anak dan remaja untuk metokok.
“Dari paparan Kemenkes, pada 2012 ada penurunan prevalensi perokok di kalangan anak-anak itu masih sedikit, mungkin kalau dikalikan jumlah anak absolut mungkin tidak terlalu berpengaruh karena jumlah penduduk juga terus bertambah. Artinya kita masih punya PR untuk penerapan perda ini,” imbuhnya.
Santi menambahkan, di lingkungan kampus Unair sendiri juga sudah menerapkan Perda KTR melalui peraturan yang dikeluarkan Rektor Unair. Sejauh ini sudah ada monitoring oleh satgas di kawasan kampus.
“Memang kadang masih ditemukan puntung rokok, tetapi terutama yang jadi masalah adalah tamu. Kalau warga/mahasiswa/dosen dan staf itu sudah paham,” imbuhnya.
Direktur P2PTM Kemenkes RI, Eva Susanti menuturkan bahwa terdapat 9 target global pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Tahun 2025 salah satunya adalah penurunan konsumsi tembakau hingga 30 persen.
Sementara untuk indikator RPJMN 2020-2024, target 2023 adalah 8,8 persen. Dan apabila meninjau dari data dan fakta penyakit tidak menular saat ini stroke, penyakit jantung iskemik, dan diabetes melitus menduduki 3 besar penyakit yang menyebabkan kematian terbanyak di Indonesia.
“Melihat fenomena 2022, terlihat peningkatan jumlah pembiayaan penyakit katastropik yang memakan biaya Rp24,06 triliun, di mana penyakit kardiovaskuler (jantung dan stroke) adalah pembiayaan terbesar pada JKN (Rp15,37 triliun), oleh karena itulah PTM menjadi silent killer dan mother of disease,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, skrining PTM menjadi prioritas sebagai salah satu langkah menurunkan risiko penyakit katastropik yang membebani JKN. Berbagai upaya yang dapat kita dilakukan untuk menurunkan PTM dengan mengendalikan faktor risikonya termasuk peran kita bersama dalam menurunkan prevalensi merokok pada anak-remaja sebagai upaya mewujudkan generasi sehat di masa depan (Generasi Emas 2045).
“Implementasi KTR di daerah juga sangat penting sebagai upaya menekan prevalensi perokok pemula, dan bagi yang sudah terlanjur merokok, adanya layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) perlu terus diperkuat hingga menjangkau anak-remaja di satuan pendidikan,” imbuhnya.
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa epidemi merokok telah menyebabkan lebih dari 5 juta orang meninggal sebagai perokok aktif dan sekitar 600.000 orang meninggal akibat terpapar asap rokok orang lain (perokok pasif) setiap tahun.
Saat ini, lebih dari 60 juta penduduk Indonesia merupakan perokok aktif. Jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun dan menempatkan Indonesia di peringkat ketiga di dunia setelah China dan India (IAKMI, 2020). Angka perokok remaja juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Riskesdas dari 2007 sampai 2018 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan perokok di kalangan remaja, terutama perokok wanita.
Editor : Ali Topan