Kita semua paham bahwa Islam adalah agama yang sejak awal dihadirkan sebagai rahmatan lil alamin rahmat bagi seluruh alam. Sebuah ajaran yang mengusung kesempurnaan hidup, keadilan sosial, kedamaian batin, keadaban moral, dan keseimbangan spiritual. Ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia: dari akidah, ibadah, muamalah, hingga akhlak.
Dalam Islam, manusia dimuliakan karena akalnya, dihargai karena amalnya, dan diminta menjadi khalifah di muka bumi. Namun ironisnya, dalam realitas global hari ini, umat Islam kerap kali dikaitkan dengan kemunduran, kekerasan, kemiskinan, bahkan krisis moral.
Baca juga: Mengapa, Negara Mayoritas Pemeluk Agama Samawi Sering Konflik ?
Sebuah stigma yang tidak hanya tidak adil, tetapi juga menunjukkan kegagalan dunia dalam memahami Islam secara menyeluruh. Mengapa agama yang membawa misi suci malah umatnya sering kali dikambinghitamkan atas kerusakan dan ketidakadaban sosial?
Salah satu jawabannya terletak pada pemisahan antara nilai-nilai Islam dan perilaku sebagian umat Islam itu sendiri. Nilai Islam adalah cahaya yang konsisten, sedangkan perilaku umatnya kadang jauh dari nilai itu karena berbagai faktor, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan sejarah kolonialisme yang panjang.
Dalam banyak kasus, umat Islam menjadi korban sejarah dari marginalisasi, keterbelakangan struktural, serta manipulasi wacana global yang menyudutkan dengan stigma bahwa Islam identik dengan kericuhan dan kekerasan. Padahal sejarah menunjukkan bahwa peradaban Islam pernah menjadi mercusuar dunia. Di saat Eropa tenggelam dalam zaman kegelapan, Baghdad, Kairo, dan Andalusia justru menjadi pusat ilmu pengetahuan, kedokteran, filsafat, dan seni.
Para cendekiawan Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun mewariskan khazanah intelektual luar biasa yang bahkan menjadi dasar perkembangan renaisans di Barat hingga saat kini. Islam tidak pernah anti ilmu, tidak membenci kemajuan, dan tidak mengajarkan kekerasan sebagai norma kehidupan.
Tetapi dalam perjalanan sejarah yang panjang, narasi-narasi ini terpinggirkan dan digantikan dengan citra sempit yang dikonstruksi melalui konflik dan propaganda. Tokoh seperti Mahatma Gandhi pernah berkata, “Saya kagum pada Islam karena kesederhanaannya. Islam tidak membuat perbedaan antara ras dan bangsa. Setiap orang yang memeluk Islam akan menjadi saudara bagi yang lain.”
Gandhi memang beberapa kali mengomentari Islam secara positif dalam konteks hubungan antaragama. Gandhi menunjukkan penghargaan terhadap ajaran Islam, terutama tentang persaudaraan dan kesetaraan.
Salah satu kutipan yang terdokumentasi dengan baik dari Gandhi berbunyi: “I become more than ever convinced that it is not the sword that won a place for Islam in those days in the scheme of life. It was the rigid simplicity, the utter self-effacement of the Prophet...” (Young India, 1924). Artinya: “Saya semakin yakin bahwa bukan pedang yang memberi tempat bagi Islam dalam kehidupan masa lalu. Tapi kesederhanaan yang teguh, penghapusan diri yang total dari sang Nabi ”
Pandangan ini menunjukkan bahwa orang luar yang obyektif bisa melihat keindahan Islam saat tidak terjebak dalam prasangka. Begitu juga Edward Said, dalam karyanya Orientalism, mengkritik cara pandang Barat yang sering menyudutkan Timur, termasuk Islam, dalam bingkai stereotip dan superioritas budaya. Karya Orientalism ditulis oleh Edward Said pada tahun 1978. Buku ini mengkritik cara pandang Barat yang bias terhadap Timur Tengah Ia menyebut bahwa citra Islam di mata dunia sering kali bukan hasil dialog, melainkan hasil konstruk media dan politik luar negeri.
Namun, sebagian umat Islam sendiri turut berperan dalam memperburuk citra agamanya. Ketika Islam dipolitisasi, ketika agama dijadikan alat kekuasaan, ketika simbol keislaman dikedepankan tanpa substansi akhlak, maka yang muncul bukanlah kedamaian, tapi kekerasan simbolik.
Dalam beberapa kasus ekstrem, ada kelompok yang mengatasnamakan Islam untuk melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan ruh Islam itu sendiri. Mereka lupa bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pribadi yang mengedepankan kelembutan, bahkan terhadap musuhnya.
Baca juga: Bersyukur Adalah Bentuk Kematangan Spiritual
Sejarah penaklukan Makkah adalah contoh nyata bagaimana Rasulullah memberikan amnesti kepada orang-orang yang dahulu mengusir dan menyakitinya, bukan membalas dengan pedang. Krisis moral yang terjadi di sebagian negara mayoritas Muslim hari ini bukanlah refleksi dari Islam, melainkan dari lemahnya institusi, rendahnya kualitas pendidikan, minimnya literasi agama, dan pengaruh sistem politik yang korup.
Banyak umat Islam hanya mewarisi Islam secara budaya tanpa memahami Islam secara ilmiah. Mereka mewarisi identitas tetapi belum menjiwai esensi. Tugas besar umat Islam hari ini bukan hanya mempertahankan identitas, tetapi membangkitkan kembali semangat iqra’ membaca, berpikir, merenung, dan mencipta yang dulu menjadikan Islam pelopor dunia.
Barack Obama dalam pidatonya di Kairo tahun 2009 juga mengakui kontribusi Islam terhadap peradaban dunia. Ia menyatakan: “Islam has a proud tradition of tolerance... it was Islam that carried the light of learning through so many centuries, paving the way for Europe's Renaissance and Enlightenment.”
Ucapan ini tidak datang dari seorang Muslim, tetapi dari pemimpin negara adidaya yang mampu melihat sejarah secara jernih. Yang perlu dibangun adalah kesadaran baru di kalangan umat Islam bahwa identitas keislaman bukan sekadar label atau pakaian luar, melainkan tanggung jawab untuk menampilkan akhlak terbaik, kerja keras, kejujuran, dan cinta kasih universal.
Menjadi Muslim hari ini bukan sekadar menjalankan ritual, tetapi juga menghadirkan Islam sebagai solusi atas problem kemanusiaan global termasuk ketidakadilan, kemiskinan, degradasi lingkungan, dan kerusakan moral.
Stigma negatif tidak bisa dibalas dengan kemarahan atau pembelaan emosional semata. Ia hanya bisa dilawan dengan teladan. Islam tidak butuh pembelaan, tetapi butuh pembuktian. Ketika umat Islam bisa menunjukkan bahwa mereka adalah pribadi yang membawa rahmat bagi sekelilingnya, stigma itu akan runtuh dengan sendirinya. Sebab sejatinya, Islam bukan sekadar agama yang benar, tetapi juga jalan hidup yang membebaskan, mencerahkan, dan mengangkat martabat manusia. Sudah saatnya umat Islam menjadi jembatan antara ajaran dan tindakan, antara kata dan perbuatan, antara Islam sebagai rahmat, dan kita sebagai umat yang menebarkannya.
Baca juga: Rahasia Ilahi Dibalik Keberagamanan
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi