Mengenang Puisi Karya Almarhum Viddy Alymahfoedh daery , "Surabaya Mari Bicara Empat Mata"

Reporter : Redaksi
Foto: Almarhum Viddy AD ( Foto : Istimewa )

"Surabaya, Mari Bicara Empat Mata"

Surabaya, mari bicara empat mata, yang enak-enak saja dan tak perlu terlalu tergesa.

Baca juga: Masyarakat Sakit Lahirkan Media Sakit Jadi Ancaman Demokrasi

Surabaya mari saling memberi dari hati ke hati. Aku melihat matamu lelah dan aku ingin mengajakmu berkata-kata.

Surabaya kau adalah sahabatku dan aku melihat kau begitu gugup dan menyimpan beban.

Kenapa kita tidak duduk-duduk di tepi jalan, di bawah akasia yang langka, mencoba menghirup udara, dan kau mulai bercerita?

Aku akan mencoba memahami segala sesuatunya, dan aku akan mencoba membantumu menguraikan persoalan.

Ayolah kita berbincang, sambil kita panggil penjual legen dan buah siwalan, dan kau bisa terus bercerita dengan lebih enak, yang leluasa dan santai saja.

Surabaya kurasa itu lebih enak, marilah sekali-kali kita coba begitu, membuka keruwetan tanpa harus terlalu tegang

Tapi kau tak mau mendengar kata-kataku. Surabaya, kau tak mau mendengar kata-kataku.

Kau lebih suka mengurung diri di kamarmu yang dikawal seratus penjaga, yang membikin nyaliku keburu kecut sebelum sempat mengetuk pintu, atau kalau tidak begitu, kau lebih suka mengurung diri di tingkat paling atas hotelmu yang paling mewah, membikin aku menjadi segan dan enggan menemuimu.

Surabaya aku ingin mengajakmu berbincang lebih santai di tepi jalan, jalanmu sendiri, di bawah pohon, pohonmu sendiri.

Tapi kau tak mendegar kata-kataku, dan kata-kataku pun ditelan deru kendaraan yang setan dan tak pernah kenal istirahat, kata-kataku pun ditiup anginmu yang selalu terasa panas dan sesak, kata-kataku hanyut tersangkut-sangkut di sungaimu yang selalu kelihatan kotor dan keruh.

Surabaya, 1981              

Itulah salah satu puisi karya Viddy Alymahfoedh Daery (alm) yang akan mengabadi dalam catatan dunia sastra di tanah air, dan cukup dikenal era tahun 80 an hingga sekarang,meski penulisnya telah pergi ke alam baqa.

Viddy Alymahfoedh Daery alias Ahmad Anuf Chafidzi lahir di Laren Lamongan, 28 Septembet 1961.  Ia anak pertama dari tujuh bersaudara.

Mereka adalah Ahmad Anuf Chafidzi, M. Anam Al Arif, A. Anas Nurul Huda (alm), Lilik Maftuhatul Jannah, Titik Alfa Alfi Khoiriyah. M. Aschab Firdaus, dan M. Aziz Nurul Hajji.

Ayahnya, Haji Ali Mahfudh bin Haji Dairi adalah Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Laren. Pada saat itu Ketua PCM Laren adalah KH Abdul Fattah (alm). Sedangkan ibunya, Hj. Atikah adalah aktifis Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Laren.

Keluarga Haji Ali Mahfudh adalah keluarga terdidik dan terpandang. Mereka berjuang untuk persyarikatan dengan harta dan tenaganya.

Di desanya Laren, dia lebih dikenal dengan panggilan Anuf atau Chafidzi. Sementara di luar kampungnya secara nasional lebih dikenal dengan panggilan Viddy Daery.

Pendidikan Viddy Alymahfoedh Daery dilalui di TK ABA Laren, MIM Laren, dan SMPN di Tuban sambil nyantri di Pondok Pesantren Al Ma’hadul Islamiyah (Mais), asuhan KH Mahbub Ikhsan (alm), mantan Ketua PDM Tuban.

Sedangkan SMA dilalui di Lamongan dan Malang. Setelah tamat dari SMA Viddy meneruskan kuliah ke Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Surabaya dan lulus tahun 1980-1981. Ia pun sempat kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS), dan IAIN Sunan Ampel Surabaya (sekarang UINSA).

Baca juga: Pemakzulan Donald Trump Langkah Terbaik

Puisi "Surabaya, Mari Bicara Empat Mata" karya seorang Viddy Alymahfoedh daery ini bukan sekadar rangkaian kata indah yang menggambarkan kerinduan atau nostalgia.

Ia adalah sebuah dialog sunyi, antara penulis mewakili suara hati warga—dan kota Surabaya diera tahun 80 an yang tampak kian menjauh, kian dingin, dan tak mau mendengar.

Di balik baris-baris yang tampak lembut dan ajakan yang bersahabat, tersirat sebuah kritik sosial dan rindu yang tak terbalas.

Pada awalnya, penyair memulai dengan ajakan yang hangat dan sederhana: mari berbicara empat mata, mari saling memberi dari hati ke hati.

Ia melihat Surabaya sebagai sahabat, tapi juga sebagai sosok yang letih, penuh beban, dan tertutup. Ia menawarkan cara lain berkomunikasi lebih santai, lebih manusiawi.

Bukan lewat pertemuan formal di gedung tinggi, bukan di ruang rapat yang kaku, tapi cukup di tepi jalan, di bawah pohon akasia yang langka, sambil minum legen dan makan siwalan.

Sebuah simbolisasi dari keinginan untuk kembali ke kesederhanaan, ke akarnya, ke kehidupan yang membumi dan bersahaja.
Namun keinginan itu ditolak, bahkan diabaikan.

Surabaya, dalam puisi ini, tampil sebagai kota yang sulit dijangkau, sibuk, dingin, bahkan menakutkan. Ia mengurung diri di menara gading, dijaga ketat, jauh dari rakyatnya.

Ini adalah gambaran sebuah kota besar yang sudah tak lagi ramah, yang kehilangan ruang untuk dialog, bahkan untuk sekadar mendengar.

Barikade-barikade tak kasat mata—baik sosial, politik, maupun birokrasi membuat warga kecil merasa asing di kota sendiri.

Baca juga: Sekolah Rakyat. Mendidik Anak Melarat Jadi Generasi Bermartabat

Melalui imaji deru kendaraan yang tak kenal istirahat, angin yang panas dan sesak, serta sungai yang keruh, penyair ingin menggambarkan kebisingan, kepadatan, dan kekusutan yang telah merampas ruang-ruang tenang untuk kontemplasi dan percakapan.

Surabaya dalam puisi ini bukan sekadar kota fisik, tapi metafora dari kekuasaan yang semakin eksklusif, dari sistem yang sulit disentuh, dari modernitas yang melupakan akar-akar kebersamaan.

Puisi ini ditulis pada tahun 1981, namun resonansinya terasa relevan hingga kini. Banyak kota besar di Indonesia mengalami nasib yang sama,berkembang pesat, tapi meninggalkan sisi kemanusiaannya.

Ruang publik menyempit, interaksi antarwarga tergantikan oleh rutinitas mekanik, dan para pemegang kendali kota seolah hidup di dunia yang berbeda dari masyarakatnya.

Ada kerinduan yang tak terucap, untuk sekadar duduk di bawah pohon dan bercakap-cakap dari hati ke hati.

"Surabaya, Mari Bicara Empat Mata" adalah seruan lirih agar kota kembali membuka diri, agar ada ruang mendengar, agar para penghuninya tak sekadar menjadi angka statistik.

Ini adalah ajakan untuk menjadikan kota sebagai rumah yang ramah, bukan benteng yang dingin. Sebuah puisi, sekaligus teguran, dan harapan kehadiran sebuah kota dengan segala resonasinya.

                           
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

Ekonomi
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru