Mengulik Masa Depan Tersembunyi di Bawah Gunung Tumpang Pitu

Reporter : Peni Widarti
Pekerja tambang sedang beroperasi di tambang bawah tanah (tembaga) Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi. Foto : BSI

JATIMKINI.COM, Terletak di bawah tambang emas permukaan Tujuh Bukit Operations, di Desa Pesanggaran, Banyuwangi, proyek tambang tembaga Tujuh Bukit (TB Copper) terus digarap oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).

Diperkirakan TB Copper ini memiliki sumber daya mineral hingga 1,78 miliar ton bijih dengan kadar 0,46% tembaga dan 0,50 g/t emas yang mengandung sekitar 8,2Mt tembaga dan 28,6Moz emas, termasuk Sumber Daya Terindikasi sebesar 372Mt dengan 0,61% tembaga dan 0,68 g/t emas.

Baca juga: Komitmen MDKA Tingkatkan Kapasitas SDM, Dorong Ekonomi Berkelanjutan

Proses penambangan tembaga ini pun diprediksi akan mencapai 30 tahun - 40 tahun ke depan. Hal ini pun akan menjadi satu kebanggan Jawa Timur dan Indonesia, karena TB Copper menjadi tambang tembaga terbesar ketiga.

Di masa mendatang, dengan skala produksi yang besar, TB Copper akan menarik perhatian dunia internasional. Hal ini akan menambah daya tarik Banyuwangi dalam skala global yang selama ini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara.

General Manager of Operations (GMO)/ Kepala Teknik Tambang, Roelly Fransza menjelaskan bahwa TB Copper akan menjadi operasi penambangan bawah tanah, dan tidak akan mengubah topografi/lanskap perbukitan secara signifikan.

“Area penambangan dan fasilitas terkait akan berada di dalam kawasan IUP PT Bumi Suksesindo (BSI) sekarang, dan tidak ada anggota masyarakat yang tinggal di kawasan ini,” jelasnya dalam Media Mining Workshop di Surabaya, Jumat (13/9/2024).

Ia mengatakan, hingga saat ini perusahaan masih mengupayakan proses pengurusan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan sejumlah kegiatan persiapan penggalian tambang tersebut. 

“Kita sekarang masih proses Amdal, dan secara teknik ekonomi Sudah disetujui ESDM, karena pabrik pengolahannya berbeda dengan tambang emas di atas bukit yang menggunakan teknik heap lich. Untuk tambang bawah tanah pakai milling sistem dan produk akhirnya adalah konsentrat, sama seperti di tambang Batu Hijau Sumbawa Barat,” jelasnya.

Untuk itu, lanjut Roelly, diperlukan pembangunan Terminal Khusus (Tersus) untuk membawa konsentrat biji yang dihasilkan melalui jalur laut dan dikirim menuju pabrik pengolahannya atau smelting. Saat ini pengembangan Tersus itu juga masih dalam proses izin. 

“Kita baru sampai di situ, dan ini masih perlu research dan pemahaman yang lebih dalam lagi, sebab kita tahu tembaga ini bagian dari masa depan Energi Baru Terbarukan (EBT) yakni digunakan untuk kebutuhan meterial mobil listrik,” ucapnya.

Roelly menambahkan, proses penggarapan proyek ini memang tidak mudah dan membutuhkan investasi tinggi. Hingga saat ini sudah terserap anggaran sekitar US$200 juta untuk proyek TP Copper. Mulai dari studi kelayakan, keamanan, kesehatan, SDM, teknologi, termasuk eksplorasi Sepanjang 1.890 meter. 

Di dalam tambang bawah tanah ini juga dipasok oksigen, bahkan kapasitas pekerja hanya boleh 68 orang di dalamnya, serta disiapkan refuse chamber (ruang darurat). Di sisi teknis, perlu dilakukan evaluasi dan studi berkelanjutan mengingat kedalaman tanah yang akan digali ini berada di bawah permukaan laut. 

“Kita perlu melakukan studi kebocoran, dan itu tidak dilakukan di Freeport (Papua) berbeda kondisinya. Jadi harus direncanakan dengan teliti dan hati-hati,” imbuhnya.

GM Complien Merdeka Copper Gold, M. Toha GM memaparkan, kebutuhan nikel maupun tembaga di masa yang akan datang bakal semakin besar seiring dengan perkembangan industri kendaraan listrik, di mana kabel-kabel yang dibutuhkan menggunakan tembaga. 

“Perkembangan penggunaan kendaraan listrik ini sejalan dengan upaya Indonesia menuju energi yang ramah lingkungan dengan mengurangi produksi emisi karbon,” katanya.

Baca juga: Berkah Kuartal Ketiga, MBMA Siapkan Strategi Bisnis 2025

Data Kementerian Perindustrian pada 2022 mencatat, Indonesia menempati 7 besar tembaga dunia, di mana total cadangan tembaga Indonesia sebesar 3% dari total cadangan dunia. 

Selain itu, Indonesia berada pada urutan 11 untuk produksi tambangnya. Namun, industri hilir tembaga Indonesia hanya menempati urutan ke-18, di bawah Jepang, India, Korea dan Bulgaria. Padahal negara-negara tersebut tidak memiliki sumber daya mineral tembaga. 

Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang produksi tambang tembaganya berada pada urutan ke-3 terbesar dunia, telah mengembangkan industri hilirnya sampai menempati urutan pertama dunia dengan kapasitas produksi empat kali lipat produksi tambangnya (International Copper Studdy, 2008). Jadi Indonesia punya potensi untuk mengembangkan pengolahan tembaga di dalam negeri.

Pemanfaatan tembaga sendiri sangat luas, di antaranya untuk bangunan dan infrastruktur, transportasi dan alat berat, peralatan rumah tangga, peralatan elektronik, dan otomotif. 

Ketahanan cadangan tembaga dunia untuk memenuhi permintaan global adalah 44 tahun, sementara cadangan tembaga Indonesia dapat mencukupi kebutuhannya sendiri selama 26 tahun. Jadi, pemanfaatan katoda tembaga menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi harus mulai dilakukan di dalam negeri.

Pengolahan bijih tembaga menjadi produk hilir dapat memberikan nilai tambah yang besar sampai 175% dan mencapai 205% bila diproses menjadi produk akhir.

Dari sisi permintaan di pasar global, peningkatan permintaan paling tinggi terkait produk tembaga adalah kabel tembaga yang mencapai US$263 miliar pada 2028, setara dengan pertumbuhan rata-rata 6%/tahun. Industri lainnya yaitu pipa dan tubing tembaga global mencapai US$29 miliar di 2020 dan diproyeksikan meningkat hingga US$38 miliar pada 2028. 

Baca juga: Merdeka Battery Materials Rebut Masa Depan Energi Listrik

Pengguna utama katoda tembaga di Indonesia adalah industri kabel dan konduktor dengan kapasitas 500 ton/tahun, yang terdiri atas 45 pabrik penghasil kabel tembaga, 45 pabrik penghasil konduktor tembaga, dan 11 pabrik penghasil rod tembaga.

Corporate Communications MDKA, Tom Malik menambahkan, investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan proyek tambang milik MDKA memang tidak sedikit. Sebagian proyek menggunakan dana internal, dan sebagian diperlukan aksi korporasi seperti pinjaman modal hingga melakukan penawawan saham terbatas atau Right Issue (Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu/HMETD) untuk investor strategis.

“Jadi aksi koprorasi untuk dapat dana pengembangan ini masif sekali dilakukan. Tahun lalu kalau tidak salah Capex kita US$800 juta,” ujarnya.

Untuk proyek Bukit Tujuh Copper fase 1 saja menelan anggaran hingga US$1 miliar, lalu proyek emas di Pani yang akan beroperasi awal tahun depan mencapai US$400 juta untuk nikel maupun pengembangan hilirisasi, disusul 2 pabrik epal dalam pembangunan mulai commisioning 30.000 ton/tahun butuh US$500 juta.

Tom menambahkan, TB Copper sendiri telah berkomitmen untuk memberikan dampak yang signifikan terhadap pendapatan negara dan pemerintah daerah di wilayah operasi pertambangan melalui kontribusi pajak dan non-pajak, penciptaan lapangan kerja bagi penduduk lokal, peluang usaha bagi bisnis lokal, serta berbagai program pemberdayaan masyarakat.

Sejak 2016 hingga 2023, tambang Bukit Tujuh yang dikelolan BSI pun telah berkontribusi terhadap pemasukan negara mencapai lebih dari Rp4,36 triliun, yang terdiri dari kontribusi terhadap pajak sebesar lebih dari Rp3,28 triliun, dan royalti Rp1 triliun lebih.

 

Editor : Redaksi

Ekonomi
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru