x
x

KKP Buruk Muka Cermin Dibelah. Buruk Kinerja, Nelayan Disalahkan

Minggu, 08 Jun 2025 20:10 WIB

Reporter : Redaksi

Di negeri maritim,  lebih dari 17.000 pulau dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, ironi datang bertubi-tubi. Kekayaan laut Indonesia seperti dongeng yang tak pernah menjadi kenyataan bagi para nelayan kecil. Padahal mereka merupakan aktor utama dalam drama panjang perikanan nasional namun selalu menjadi figuran penderita dalam skenario kebijakan.

Publik tengah dikejutkan oleh pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa seluruh pelaku usaha penangkapan ikan.

Dalihnya meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang menurutnya seharusnya bisa mencapai Rp 12 triliun, bukan stagnan di angka Rp 966 miliar seperti tahun 2024.

Kata Trenggono, jika saja 10 persen dari 7,5 juta ton ikan hasil tangkapan nasional dibayarkan dalam bentuk ikan  maka negara bisa mendapat Rp 9 triliun. Bahkan dia sempat melontarkan,  "Sudahlah, jangan bayar pakai uang, bayarnya pakai ikan saja."

Pernyataan itu mungkin terdengar logis di meja rapat namun menjadi satir di tengah realita nelayan yang setiap hari berjibaku dengan gelombang laut, krisis bahan bakar juga regulasi yang mencekik.

CERMIN RETAK

Pernyataan Trenggono itu memantik kritik tajam dari banyak pihak. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) melalui Ketua Umum Laksamana TNI (Purn.) Sumardjono menyebut langkah KKP itu dzalim.

“Tugas pemerintah adalah menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, bukan menyeret rakyat ke ranah hukum karena persoalan pajak,” tegasnya.

Staf Ahli HNSI, Djoko Sungkono, bahkan menyebut, "pernyataan pak menteri Trenggono terkesan benar tapi kurang tepat bahkan tidak peka dan sangat memprihatinkan bagi komunitas nelayan."

Faktanya, berdasar data tahun 2022, dari sekitar 3 juta nelayan di Indonesia, sekitar 2,4 juta adalah nelayan laut tradisional. Sebagian besar dari mereka bekerja dalam sistem ijon, tidak memiliki kapal sendiri dan tergantung pada pemilik modal.

Sementara regulasi yang dibuat seringkali menyamakan mereka dengan pengusaha besar, tanpa melihat realita strata pada komunitas nelayan di lapangan.

Apakah nelayan kecil kini harus ikut menanggung dosa fiskal negara akibat kegagalan sistemik dalam pengawasan, distribusi BBM subsidi dan transparansi ekspor hasil laut?. Bagaimana KKP menjawab permasalahan ini?

HNSI sebenarnya pernah mengusulkan program prioritas strategis menyangkut  pemetaan kebutuhan BBM subsidi, penyusunan database nasional nelayan, perlindungan sosial atas resiko kecelakaan maupun kematian juga penguatan koperasi nelayan. Namun hingga kini semuanya kandas di ranah kebijakan. Banyak omon-omonnya katimbang implementasi di lapangan.

Sementara illegal fishing dari negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Vietnam dan Malaysia masih marak. Menurut kajian akademis, 75% sumber daya ikan Indonesia telah dieksploitasi secara berlebihan.

Hanya anehnya, bukan kapal asing yang diperiksa dengan ketat melainkan nelayan lokal diburu disertai aturan yang  mempersulit mereka. Seperti zona yang  terkotak-kotak bagi nelayan oleh adanya peraturan pemerintah daerah dalam mencari tambahan pendapatan asli masing-masing daerah .

TANPA EMPATI

Menteri KKP yang juga elite Partai Amanat Nasional, statemennya disorot karena dinilai bernuansa politis dan jauh dari empati.

Dalam kondisi nelayan sedang menjerit karena distribusi BBM tidak merata, sistem penangkapan ikan terukur (PIT) belum matang, pengawasan ekspor tidak transparan, justru akan ditambah adanya tekanan lewat Badan Pemeriksa Keuangan.

Di sisi lain, banyak pihak bertanya - tanya,kemana hilangnya sekitar 1,4 juta ton BBM subsidi untuk nelayan? Apakah sudah diserap oleh mafia distribusi atau gagal tersalurkan karena birokrasi?

Jika benar negara ini hendak menjadikan laut sebagai masa depan bangsa seharusnya nelayan diposisikan sebagai mitra strategis bukan objek fiskal.

Jika benar Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor perikanan penting, maka hal pertama yang kudu dilakukan adalah pemberdayaan dan fasilitasi sistemik terhadap nelayan, bukan mempermalukan mereka di forum internasional.

Kritik ini bukan seruan destruktif tapi panggilan akal sehat. Jangan sampai nelayan yang lelah melaut siang-malam juga harus memikul beban moral karena negara tak mampu menertibkan tata niaga dan pungutan liar di pelabuhan.

Apalagi jika akhirnya seperti yang  disampaikan oleh  beberapa pengurus DPD dan DPC HNSI, mogok melaut serentak menjadi satu-satunya cara menyuarakan kegelisahan. Sudah saatnya pemerintah berhenti menyalahkan cermin. Jika wajahnya kusam dan buram, bukan cermin yang harus dipecah.

Bila kinerja KKP yang tidak optimal,  jangan salahkan nelayan. Jujur sajalah.

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

Editor : Redaksi

LAINNYA