x
x

Pancasila, Sakti atau Sekadar Simbol ?

Rabu, 04 Jun 2025 12:33 WIB

Reporter : Redaksi

Pancasila telah menempuh perjalanan panjang sebagai ideologi dasar negara Republik Indonesia. Ditetapkan secara resmi pada 1 Juni 1945 dalam pidato Bung Karno, Pancasila menjadi tonggak fondasi moral dan filosofis bangsa ini.

Namun, seiring bergulirnya waktu, Pancasila tak pernah sepi dari tantangan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Ideologi ini sempat diguncang oleh berbagai upaya infiltrasi pemikiran lain komunisme, liberalisme, hingga fundamentalisme agama.

Namun nyatanya, Pancasila tetap berdiri sebagai dasar negara, menunjukkan daya tahannya melampaui rezim, zaman, bahkan godaan kekuasaan. Pertanyaannya kini: apakah Pancasila memang sakti, ataukah ia hanya kuat dalam retorika namun lemah dalam praktik?

Bicara tentang kesaktian Pancasila bukan semata tentang seberapa lama ia bertahan di atas kertas konstitusi, tetapi seberapa jauh nilai-nilai yang dikandungnya hidup dan mewujud dalam sistem hukum dan praktik institusi negara, khususnya di lembaga pengadilan.

Sila pertama hingga kelima menawarkan prinsip-prinsip luhur tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Tetapi jika kita bertanya kepada masyarakat biasa yang bersentuhan langsung dengan realitas hukum, jawaban mereka sering kali sinis: mengapa keadilan terasa mahal, diskriminatif, dan lamban?

Di sinilah kesenjangan antara Pancasila sebagai ide dan Pancasila sebagai praktik menjadi terang benderang. Pengadilan seharusnya menjadi cermin paling jujur dari sila ke-5: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Namun dalam praktiknya, hukum acap kali hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil yang mencuri karena lapar bisa dihukum lebih berat daripada pejabat yang menggelapkan dana publik miliaran rupiah.

Kasus-kasus seperti ini bukan anomali, melainkan pola yang berulang, dan ironisnya sudah dianggap sebagai “kenormalan” oleh banyak orang.  Maka tak heran bila publik mulai mempertanyakan: di manakah Pancasila ketika keadilan dipermainkan oleh kekuasaan dan uang?

Ada pula dimensi religius yang sering kali terabaikan. Sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebuah prinsip yang seharusnya membentuk kesadaran moral kolektif, bukan sekadar jargon di dinding ruang sidang.

Namun, apakah hakim-hakim kita benar-benar memutus perkara dengan ketajaman nurani yang dibentuk oleh nilai spiritualitas dan kemanusiaan? Ataukah keputusan mereka lebih didorong oleh kekuatan lain tekanan politik, relasi kuasa, atau transaksi tersembunyi?

Kita juga mesti jujur mengakui bahwa sistem hukum Indonesia masih terjebak dalam dualisme antara formalisme hukum warisan kolonial dan aspirasi nilai-nilai Pancasila.

Banyak undang-undang dibuat dengan niat baik, tetapi pelaksanaannya lemah. Etika profesi hukum sering kali kalah oleh pragmatisme. Penegak hukum bekerja dalam sistem yang rentan intervensi, baik oleh kekuatan ekonomi maupun tekanan politik.

Dalam kondisi seperti ini, nilai-nilai Pancasila menjadi suara yang samar, nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk praktik legalistik yang kering dari nilai moral.

Apakah ini berarti Pancasila gagal? Tidak sepenuhnya.

Pancasila belum gagal; ia justru sedang diuji. Bahwa Pancasila tetap bertahan meski diombang-ambingkan oleh banyak kepentingan adalah bukti bahwa ideologi ini masih memiliki akar kuat dalam kesadaran kolektif bangsa.

Namun, kesaktian Pancasila tidak bersifat otomatis atau magis. Ia hanya akan “sakti” jika dijalankan secara konsisten, berani, dan menyeluruh dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam penegakan hukum.

Kesaktian Pancasila sejatinya adalah potensi, bukan realitas. Ia bisa menjadi nyata jika para penegak hokum hakim, jaksa, polisi, dan pengacara menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai kompas moral dalam setiap tindakan.

Bila keadilan tidak hanya menjadi hasil dari prosedur, tetapi juga hasil dari keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan, maka saat itulah Pancasila menjadi hidup.

Maka dari itu, pendidikan hukum pun harus dirombak bukan hanya untuk melahirkan ahli hukum, tetapi negarawan hukum yang mampu menyeimbangkan legalitas dengan etika dan keadilan substansial.

Masyarakat Indonesia sebetulnya masih memelihara harapan terhadap Pancasila, meski dalam bentuk yang semakin skeptis. Rakyat masih ingin percaya bahwa nilai-nilai luhur itu bisa menjadi jangkar moral bangsa ini.

Tapi kepercayaan adalah sesuatu yang harus terus-menerus dirawat dan dibuktikan. Jika dalam ruang pengadilan rakyat tidak melihat keadilan, maka lambat laun kepercayaan itu akan runtuh.

Dan jika Pancasila kehilangan kepercayaan rakyat, maka kesaktiannya hanya tinggal slogan tahunan yang dibacakan setiap 1 Oktober (Hari kesaktian Pancasil) , tanpa makna yang nyata.

Oleh sebab itu, kita membutuhkan keberanian kolektif dari elite hukum, pemerintah, akademisi, hingga masyarakat sipil untuk kembali menegakkan Pancasila sebagai napas sistem hukum kita.

Bukan dalam bentuk seremoni, bukan dalam dokumen normatif, tetapi dalam keputusan-keputusan yang berani berpihak pada yang lemah, yang miskin, dan yang tertindas.

Saat pengadilan bisa menjadi tempat rakyat mencari dan menemukan keadilan yang sejati, maka saat itu pula Pancasila benar-benar menjadi sakti, bukan hanya karena ia abadi dalam teks, tapi karena ia hidup dalam praktik keadilan

Ditulis oleh : Bambang Eko Mei

Pemerhati Sosial

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi  Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

 

Editor : Redaksi

LAINNYA