x
x

Demi Kemajuan Indonesia, Bersahabatlah Dengan China

Selasa, 03 Jun 2025 12:15 WIB

Reporter : Redaksi

“Ketika dunia berbicara data, kita sibuk membahas surga.”

Indonesia memasuki jalan panjang menuju Indonesia Emas 2045, tetapi alih-alih menyalakan obor peradaban, sistem pendidikannya justru menanam lilin di ruang gelap masa lalu. Pendidikan yang seharusnya menjadi kendaraan menuju masa depan malah dibajak oleh romantisme Timur Tengah dan semangat menghafal yang menggantikan nalar kritis. Kita tak sedang menanam benih peradaban tapi menumbuhkan generasi yang akrab dengan surga imajiner dan buta terhadap Ilmu pengetauan dan teknologi.

Sungguh ironis. Dalam semangat bonus demografi, anak-anak Generasi Z dan Alpha dididik untuk menjadi "hafiz kecil" bukan "pembaca besar." Di saat seruan Iqra! sebagai perintah “bacalah”, kita memilih jalur pintas: hafallah.

Kita mencetak ribuan mulut penghafal namun melupakan tangan-tangan penulis. Islam  dalam wajah aslinya adalah agama literasi dan peradaban. Tapi di tangan bangsa ini diubah menjadi "Agama Arab" — agama seremonial yang lebih mementingkan  doa daripada aksi nyata. Lebih mementingkan ibadah ritual katimbang ibadah sosial.

“Mereka menghafal ayat-ayat tentang ilmu tapi tidak pernah membangunnya.”

Guru Gembul, seorang pendidik dengan lidah setajam gergaji senzo menyindir keras: “Di seluruh dunia ada 30 ribu penghafal Al-Qur’an tapi berapa orang yang menyumbang teori baru bagi kemajuan sains dan teknologi?”

Pertanyaan ini menusuk nadi kita yang  rapuh. Kita ingin menjadi bangsa besar tapi sibuk menjadikan penghafal kitab suci sebagai pendaftar khusus masuk di universitas sains, akademi militer bahkan kepolisian. Apa hubungan antara menghafal surat pendek dengan membedah algoritma, merakit drone  atau menyusun strategi pertahanan negara?

Sementara itu di negeri seberang  yang kita cap sebagai bangsa "kafir" bernama China membuat dunia ternganga. Di sana, doa diganti dengan data, ritual ditukar dengan riset. Hasilnya? Komputer kuantum Jiuzhang hasil karya Pan Jianwei dan timnya mampu  menyelesaikan perhitungan super kompleks hanya dalam 4 menit 20 detik, sesuatu yang bahkan superkomputer tercanggih dunia butuh 2,6 miliar tahun untuk menuntaskannya. Bayangkan,  sejak zaman dinosaurus belum punah, komputer kita belum akan selesai menghitung. Tapi China sudah menyelesaikannya sambil minum teh dan menulis jurnal ilmiah.

“Di sana, satu tindakan lebih bermakna dari sejuta doa. Di sini, doa diperlombakan, tindakan dikesampingkan.”

Bahkan lebih mengagumkan, mereka tidak pelit. China tidak berkata, “Ini milik kami.” China membuka tangan untuk kolaborasi global.

Ketika kita sibuk memeriksa agama calon pemimpin, China menyaring ide terbaik untuk umat manusia. Sedihnya, sebagian besar dari kita masih gemar mencibir China sebagai negara ateis dan kafir, seolah prestasi harus selalu lahir dari sajadah. Peh!!

Mari bercermin. Di Finlandia, Swiss, dan Georgia, anak-anak tidak dibebani menghafal doa sejak balita. Mereka diajarkan budi pekerti membentuk karakter, rasa tanggung jawab sosial, diajar memahami integritas. Hasilnya? Penjara kosong. Polisi bisa pulang lebih cepat. Bandingkan dengan negeri kita yang katanya “paling religius”, di mana kriminalitas tumbuh di balik dinding mushola dan penjara menjadi tempat paling ramai seperti hiburan malam.

Kita sedang berjalan mundur menuju masa depan. Menjelang 100 tahun Indonesia merdeka, kita malah menukar potensi ilmiah dengan romantisme Arab. Kita mencetak generasi yang pintar bershalawat tapi gagap pada robotik. Bangga hafal kitab tapi buta membaca data. Indonesia tidak akan Emas jika terus begini. Yang ada hanya perunggu tua yang dipoles doa, bukan dikembangkan dengan IPTEK.

"Kita butuh lebih banyak insinyur, bukan hanya "imam". Butuh laboratorium, bukan sekadar mimbar. Butuh algoritma, bukan hanya akidah.”

Mari bersahabat dengan China. Bukan soal ideologi tapi tentang teknologi. Bukan menukar iman tapi memperkuat masa depan. Kita tidak akan menjadi bangsa kuat dengan sekadar memekik takbir di jalanan. Kita akan besar jika mampu duduk di meja riset, berdiskusi di ruang inovasi dan menanamkan literasi sebagai tiang peradaban.

Jika benar kita ingin Indonesia Emas  maka mari ubah cara pandang kita. Pendidikan harus kembali pada akar rasionalnya. Anak-anak bukan makhluk hafalan tapi pelukis masa depan. Dan masa depan tak dibangun dari mimpi maupun mantra tapi dari eksperimen dan kerja nyata.

 “Indonesia jangan hanya berharap surga di akhirat, tapi bangunlah surga di bumi dengan peradaban"

Bersahabatlah dengan China bukan untuk menjadi mereka tapi untuk belajar dari keberanian mereka mengalahkan ketertinggalan tanpa harus kehilangan jati diri. Hanya bangsa yang mampu belajar dari siapa pun, termasuk dari yang berbeda keyakinan yang akan bertahan hidup di masa depan.

Masa depan seperti komputer kuantum China, tidak menunggu mereka yang sibuk menghafal tapi menoleh kepada mereka yang berani berpikir dan bertindak.

Penulis : Rokimdakas

Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

Editor : Redaksi

LAINNYA