Kebaikan adalah nilai yang sejak kecil ditanamkan dalam diri kita. Kita diajarkan bahwa menjadi orang baik adalah sesuatu yang luhur dan mulia.
Namun, seiring bertambahnya usia dan pengalaman, kita mulai menyadari bahwa dunia tidak selalu memberi balasan yang sepadan terhadap kebaikan yang kita berikan.
Tidak jarang, niat baik dibalas dengan keburukan, ketulusan disambut dengan pengkhianatan, dan bantuan justru menjadi awal dari luka yang mendalam.
Maka timbul pertanyaan: apakah kebaikan itu masih relevan? Apakah kita harus berhenti menjadi baik? Atau justru, kita perlu cara baru dalam memahami dan menjalankan kebaikan?
Dalam realitas yang kompleks ini, penting untuk menyadari bahwa kebaikan pun memerlukan manajemen. Bukan untuk membatasi niat baik, tapi untuk melindungi diri kita sendiri dari ekspektasi yang tidak realistis.
Banyak orang kecewa bukan karena mereka gagal berbuat baik, tapi karena mereka berharap kebaikan itu akan selalu kembali dalam bentuk yang sama. Padahal, hidup tidak bekerja seperti rumus matematika.
Ada peristiwa-peristiwa dalam hidup yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Ada pengalaman yang melampaui nalar, yang datang tiba-tiba dan meninggalkan luka di tempat yang tidak kita duga. Maka, mengatur kebaikan adalah bagian dari kedewasaan.
Psikolog sosial Dr. Adam Grant asal Amerika dalam bukunya Give and Take menyampaikan sebuah gagasan menarik tentang hubungan sosial manusia. Ia membagi manusia dalam tiga kelompok: pemberi (givers), pengambil (takers), dan penyeimbang (matchers).
Menurut Grant, para pemberi sejati memiliki potensi menjadi kelompok paling sukses, tetapi juga paling rentan mengalami kekecewaan dan kelelahan emosional. Namun, ada perbedaan mencolok antara pemberi yang bijak dan pemberi yang naif.
Pemberi yang bijak tahu kapan harus memberi, kepada siapa, dan dalam kapasitas seperti apa. Mereka tetap berbuat baik, namun tidak membiarkan diri mereka dimanfaatkan.
Grant mengatakan bahwa “Successful givers are every bit as ambitious as takers and matchers. They simply have a different way of pursuing their goals.” Ini menunjukkan bahwa menjadi baik tidak berarti menjadi lemah.
Sebaliknya, orang yang baik bisa sangat kuat asalkan ia memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan tahu bagaimana mengelola energi, waktu, dan perasaannya.
Kekecewaan sering kali muncul karena adanya ketimpangan antara harapan dan kenyataan. Kita memberi, lalu berharap akan dibalas. Kita menolong, lalu berharap akan diingat. Tapi ketika yang terjadi justru sebaliknya, hati kita terluka. Di sinilah pentingnya mengelola ekspektasi.
Memberi tidak seharusnya menjadi transaksi. Jika memang harus berharap, berharaplah bahwa kebaikan kita akan membentuk karakter kita sendiri, bukan membentuk orang lain. Mengatur kebaikan bukan berarti kita berhenti menjadi orang yang murah hati. Bukan pula menjadi pribadi yang penuh curiga.
Tetapi justru menjadi pribadi yang dewasa secara emosional dan sadar bahwa tidak semua situasi layak diberi respon yang sama. Kita perlu tahu batas. Batas ini bukan untuk menjauh dari orang lain, melainkan untuk menjaga diri agar tidak terkuras oleh hubungan yang toksik atau situasi yang melelahkan.
Hidup mengajarkan kita bahwa tidak semua niat baik akan diterima dengan baik. Kadang, memberi terlalu banyak justru membuat orang lain bergantung. Kadang, terlalu cepat percaya malah membawa kita ke dalam jebakan yang menyakitkan.
Maka, kebaikan perlu dibarengi dengan kebijaksanaan. Ini bukan tentang menjadi perhitungan, tapi tentang menjadi bijaksana tahu kapan harus maju, dan kapan harus mundur. Dalai Lama pemimpin Budha pernah mengatakan, “Be kind whenever possible. It is always possible.” Tetapi dalam kehidupan yang penuh warna dan jebakan ini, mungkin kalimat itu bisa ditambahkan: “Be kind whenever possible but be wise enough to know when, where, and how.” Tidak semua bentuk kebaikan tepat untuk semua orang.
Kadang, menolak pun bisa menjadi bentuk kasih sayang, jika itu berarti menolong orang untuk belajar bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Pada akhirnya, kebaikan yang dikelola dengan baik akan jauh lebih tahan lama. Ia tidak mudah hancur oleh kekecewaan, tidak mudah layu oleh pengkhianatan.
Ia tumbuh dalam kesadaran, bukan sekadar dorongan sesaat. Kebaikan seperti ini bukan hanya memberi manfaat kepada orang lain, tapi juga memperkuat diri kita dari dalam. Kita tidak hanya memberi terang pada sekitar, tapi juga menjaga nyala di dalam diri kita sendiri agar tidak padam oleh luka dan penyesalan.
Sebaliknya, kebaikan yang tidak terkelola bisa menjadi racun. Ia melelahkan, mematahkan semangat, bahkan bisa mengubah seseorang menjadi sinis. Banyak orang yang dulunya penuh cinta, berubah menjadi dingin karena terlalu sering dikecewakan. Mereka merasa dunia tidak layak untuk kebaikan mereka.
Padahal, yang perlu dilakukan bukan berhenti menjadi baik, tetapi belajar menjadi baik dengan cara yang baru. Maka, di tengah dunia yang penuh ketidakpastian ini, kita bisa memilih untuk tetap menjadi orang baik bukan karena dunia selalu membalas kebaikan kita, tetapi karena kebaikan itu membentuk siapa diri kita.
Kita memberi bukan karena mereka pantas menerima, tapi karena kita pantas menjadi pribadi yang penuh kasih. Dan agar kebaikan itu bertahan, ia perlu diarahkan dengan kesadaran, bukan sekadar emosi.
Dengan manajemen yang bijak, kebaikan tidak akan habis. Ia akan terus tumbuh, menjadi kekuatan yang lembut namun tak tergoyahkan. Ia akan menjadi pelita dalam gelap, bukan api yang membakar diri sendiri.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi