Apakah Tuhan diciptakan manusia, atau manusia yang mencari Tuhan? Buku "Sejarah Tuhan" karya Karen Armstrong menawarkan eksplorasi panjang dan mendalam mengenai gagasan tentang Tuhan dari masa ke masa.
Ini bukan buku teologi dogmatis, melainkan perjalanan intelektual lintas zaman, menelusuri bagaimana tiga agama monoteistik besar Yahudi, Kristen, dan Islam memahami, membentuk, dan terkadang juga menggugat konsep ketuhanan.
Armstrong, mantan biarawati Katolik yang kemudian menjadi salah satu penulis agama paling berpengaruh di dunia, tidak sekadar menyajikan narasi sejarah.
Ia juga mengajak pembaca berefleksi: bagaimana manusia, dalam berbagai konteks budaya dan sosial, selalu berusaha mengisi ruang batin yang menuntut makna dengan konsep ilahi?
Dalam perjalanan sejarah itulah, Tuhan berubah rupa bukan dalam wujud hakiki-Nya, tapi dalam bayangan manusia yang berusaha memahaminya.
Perjalanan Ide tentang Tuhan
Buku ini dimulai dengan kisah Abraham, figur penting dalam tiga agama Abrahamik. Dari titik ini, Armstrong menunjukkan bahwa konsep Tuhan tidaklah statis.
Dalam tradisi Ibrani, Tuhan awalnya muncul sebagai kekuatan tribal, pelindung kaum tertentu, lalu berkembang menjadi figur moral yang universal.
Di dalam Kekristenan, konsep ini terus berkembang, menjadi pribadi yang inkarnatif dalam diri Yesus, lalu melewati perdebatan rumit dalam Konsili Nicea dan doktrin Trinitas.
Islam, yang muncul belakangan, menawarkan sintesis sekaligus kritik terhadap gagasan ketuhanan sebelumnya. Allah dalam Islam ditegaskan sebagai esa dan transenden, tidak bisa diserupakan dengan ciptaan.
Namun dalam sufisme dan filsafat Islam, muncul usaha mendekatkan kembali Tuhan ke hati manusia, melalui jalan mistik dan logika filsafat.
Armstrong menyoroti pula peran filsuf seperti Plotinus, Thomas Aquinas, Ibn Sina, dan Al-Ghazali dalam membentuk pemahaman metafisik tentang Tuhan.
Ia memperlihatkan bahwa diskusi tentang Tuhan tidak hanya terjadi di mimbar atau kitab suci, tapi juga di ruang filsafat, dalam dialog rasional, dan bahkan dalam kritik tajam terhadap agama.
Kritik terhadap Pandangan Modern
Yang membuat Sejarah Tuhan menarik bukan hanya narasinya yang kaya, tetapi juga bagaimana Armstrong mengkritik kecenderungan modern dalam memisahkan agama dari kehidupan.
Modernitas, katanya, membuat Tuhan kehilangan tempat: digantikan oleh sains, teknologi, dan rasionalisme. Tuhan yang dulu menjadi sumber makna kini dianggap sebagai mitos yang usang.
Namun Armstrong tidak serta-merta mengecam modernitas. Ia memahami bahwa ilmu pengetahuan membawa kemajuan.
Yang ia kritik adalah reduksi terhadap pengalaman spiritual manusia menjadi sekadar persoalan rasional.
Baginya, pengalaman akan Tuhan tidak bisa dibuktikan atau dibantah secara ilmiah, karena ia bekerja dalam ranah eksistensial—pada rasa kagum, ketakutan, cinta, dan harapan terdalam manusia.
Ia juga menyayangkan kebangkitan fundamentalisme, baik di dunia Islam maupun Kristen.
Armstrong melihatnya sebagai reaksi terhadap modernitas yang memarjinalkan agama. Tapi sayangnya, reaksi ini seringkali destruktif, karena membeku pada tafsir literal dan menolak dialog.
Dalam hal ini, Sejarah Tuhan adalah juga seruan untuk kembali pada kedalaman spiritualitas, bukan pada kekakuan dogma.
Tuhan Cermin Diri
Yang paling mengesankan dari buku ini adalah pesan implisit bahwa pencarian Tuhan sejatinya adalah pencarian diri.
Ketika manusia memikirkan Tuhan, yang sebenarnya terjadi adalah refleksi tentang apa yang dianggap paling agung, paling benar, dan paling layak untuk dicintai.
Dalam tiap zaman, manusia membentuk Tuhan sesuai dengan kebutuhan, kecemasan, dan aspirasi zamannya.
Di abad modern ini, ketika krisis makna melanda banyak orang, mungkin kita tidak perlu lagi bertanya apakah Tuhan itu ada secara objektif, tapi bagaimana ide tentang Tuhan bisa membantu manusia menjadi lebih manusiawi.
Armstrong, tanpa menyatakan posisi pribadi secara tegas, justru mengajak pembaca untuk melihat Tuhan sebagai proses, bukan sebagai hasil akhir. Sebuah pencarian, bukan kepastian yang dibungkus dogma.
Di tengah polarisasi agama hari ini, Sejarah Tuhan menjadi bacaan yang sangat relevan. Ia tidak menawarkan jawaban mutlak, tetapi membuka ruang dialog dan refleksi.
Ia tidak membela satu agama di atas yang lain, tapi justru menunjukkan bahwa masing-masing agama memiliki kekayaan spiritual yang layak dipelajari dan dihargai.
Karen Armstrong menulis Sejarah Tuhan dengan gaya yang memikat, akademis namun tetap mudah diikuti. Ia tidak menggurui, tetapi menantang kita berpikir lebih dalam.
Bagi pembaca yang mencari jawaban sederhana tentang Tuhan, buku ini mungkin membingungkan. Tapi bagi mereka yang siap bertanya, meragukan, dan merenung, buku ini bisa menjadi teman spiritual yang setia.
Dalam dunia yang makin sekuler tapi juga makin haus makna, Sejarah Tuhan adalah pengingat bahwa manusia selalu butuh sesuatu yang lebih besar dari dirinya—entah itu disebut Tuhan, kebenaran, atau cinta. Dan pencarian itu, mungkin, adalah hal paling ilahi dari semua.
Ditulis oleh : Bambang Eko Mei
Pemerhati Sosial
Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.
Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut
Editor : Redaksi