x
x

Spiritualitas Merdeka Bukan Ateisme

Kamis, 24 Apr 2025 10:39 WIB

Reporter : Redaksi

"Spiritualitas merdeka bukanlah ateisme  melainkan bentuk kedewasaan dalam beriman. Keyakinan pada Tuhan menjadi urusan privat yang tidak perlu diwujudkan dalam bentuk komunal tertentu apalagi dipaksakan dalam dokumen resmi seperti KTP."

Di era informasi yang terus melesat, sejumlah individu mulai mengalami fase baru dalam kehidupan spiritualnya atas kesadaran bahwa ritual keagamaan hanyalah “latihan dasar” menuju moralitas. Setelah memahami dan menjalankan nilai-nilai etis yang diajarkan agama mereka merasa seolah telah “lulus”. Kesadaran ini bukan sebagai bentuk pengingkaran melainkan sebagai keberlanjutan.

Seperti siswa yang tak selamanya harus duduk di bangku sekolah, manusia spiritual juga akan mencapai titik di mana ia merasa tak perlu lagi terus-menerus mengikuti ritual untuk membuktikan ketundukan. Bukankah esensi ajaran agama adalah membentuk manusia bermoral?

SPIRITUALITAS OTONOM

Agama dapat dianalogikan sebagai institusi pendidikan. Pada tahap awal, manusia belajar mengenali konsep baik dan buruk melalui dogma, ritual, serta komunitas keagamaan. Ritual layaknya praktikum yang membiasakan manusia menjalani nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Namun seperti halnya pendidikan formal, seseorang akan mencapai titik puncak: lulus. Pada titik itulah ia tak lagi membutuhkan guru dan pelajaran yang sama. Ia dituntut untuk menjadi guru bagi dirinya sendiri dengan menemukan dan merumuskan spiritualitas yang lebih luas dan kontekstual.

Filsuf Ken Wilber dalam Integral Spirituality (2006) menyebut bahwa spiritualitas mengalami proses evolusi.  Dari tahap “magis”, “mistis”, “rasional”  hingga “integratif”. Orang yang telah memahami moralitas dari ajaran agama dan menerapkannya dalam keseharian, menurut Wilber, telah memasuki tahapan yang lebih tinggi, yakni spiritualitas otonom. Ia tak lagi bergantung pada dogma luar melainkan bertumpu pada kesadaran batiniah yang mendalam.

KEBANGKITAN SPIRITUAL

Bagi generasi Baby Boomers yang masih sehat dan produktif di tengah derasnya arus digitalisasi, era ini merupakan peluang emas untuk memperluas spiritualitas. Dunia ada di genggaman. Pengetauan spiritual dari Timur dan Barat, dari sufi hingga filsafat Yunani kuno sekarang dapat dipelajari dengan satu ketukan jari.

Melalui perjalanan digital ini  pengalaman spiritual tidak harus terikat pada ruang fisik. Seperti yang ditunjukkan oleh riset neuropsikologi mutakhir bahwa otak manusia mampu membangun sensasi yang mendalam bahkan hanya lewat visualisasi dan kontemplasi. Dengan kata lain, pengalaman spiritual tak lagi memerlukan ruang ritual tertentu karena otak mampu menciptakan makna dari dalam.

Neurosains telah menggeser paradigma lama tentang nyawa. Dalam perspektif kontemporer, hidup diukur dari aktivitas jaringan saraf otak bukan dari “nafas hidup” yang tidak terukur.

Dalam buku The Tell-Tale Brain (2011), V.S. Ramachandran menjelaskan bahwa kesadaran spiritual, cinta bahkan ekstase keagamaan adalah hasil aktivasi dari bagian otak tertentu. Maka spiritualitas sejatinya bukan berada di luar tubuh namun tertanam dalam sistem biologis manusia.

Dengan demikian spiritualitas bukanlah perkara langit tapi cara bagaimana manusia merespons hidup di bumi dengan kesadaran tertinggi.

EVOLUSI KESADARAN

Sejak 3,8 miliar tahun lalu kehidupan di bumi terbentuk dari interaksi unsur mati seperti metana dan amoniak hingga timbulnya oksigen dan kehidupan. Ini adalah proses panjang abiogenesis menuju organisme. Jika kehidupan fisik mengalami evolusi mengapa spiritualitas tidak?

70.000 tahun lalu homo sapiens menemukan bahasa lalu menciptakan budaya. Dari sanalah lahir agama sebagai sistem nilai yang membimbing moralitas. Namun seiring waktu  sebagian orang mulai menyadari bahwa mereka telah menjalankan moralitas tanpa lagi tergantung pada simbolisme ritual. Inilah bentuk evolusi spiritual, yakni kesadaran bahwa Tuhan tidak hanya bisa ditemui di tempat ibadah  tetapi dalam tindakan kebaikan, empati maupun pelayanan sosial.

Spiritualitas merdeka bukanlah ateisme  melainkan bentuk kedewasaan dalam beriman. Keyakinan pada Tuhan menjadi urusan privat yang tidak perlu diwujudkan dalam bentuk komunal tertentu apalagi dipaksakan dalam dokumen resmi seperti KTP.

Dalam esai Religion Without God, Ronald Dworkin (2013) menulis bahwa,  banyak orang bisa memiliki kehidupan spiritual yang sangat dalam tanpa harus tunduk pada kerangka agama institusional. Yang penting adalah pengakuan atas nilai sakral kehidupan.

Maka tak mengherankan bila muncul generasi yang tak tertarik pada komunitas keagamaan tetapi sangat aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan. Bagi mereka ibadah sosial lebih bermakna dibandingkan ritual-ritual formal yang dianggap mekanistik.

Kini kita hidup dalam zaman ketika informasi tidak lagi eksklusif dan kebenaran tidak dimonopoli oleh satu suara. Jika agama adalah sekolah maka spiritualitas adalah hidup setelah sekolah. Tempat manusia menjalankan nilai-nilai dengan kesadaran penuh  bukan karena aturan melainkan karena cinta.

Jadi, jika seseorang sudah bermoral, apakah masih perlu ritual? Jawabannya adalah, tergantung pada kesadaran pribadi. Ritual bisa menjadi latihan bisa juga jadi belenggu. Namun yang paling utama adalah apakah kita hidup dengan kesadaran?

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

Editor : Redaksi

IDUL ADHA 2025
Kopilot
LAINNYA