x
x

Tak Perlu Merasa Sebagai Orang Penting

Selasa, 22 Apr 2025 13:33 WIB

Reporter : Redaksi

Bagi yang sibuk membangun takhta di atas angin. Ada sebuah penyakit sosial yang penyebarannya lebih cepat dari flu burung lebih membahayakan dari hipertensi. Yaitu merasa sebagai orang penting. Ini adalah semacam gangguan kejiwaan yang membuat seseorang yakin bahwa dunia ini berhenti berputar jika ia tidak ikut berpendapat, bersuara atau bikin onar. Biasanya penyakit ini menyerang mereka yang sudah uzur usia tapi masih doyan tampil ala rockstar politik atau imam besar dadakan. Celakanya makin tua makin tidak tau diri.

Orang-orang ini tak butuh cermin sebab setiap forum dan kerumunan sudah cukup untuk mereka mematut diri. Mereka bangun pagi bukan untuk menyapa mentari tapi untuk memastikan bahwa dunia tau mereka belum mati. Bila bisa, mereka ingin setiap detik hidupnya diliput walau isinya hanya debat kusir, dusta dan fitnah.

Mereka membangun citra seperti tukang bangunan kehabisan semen, dindingnya tinggi tapi gampang runtuh. Ada yang mengklaim dirinya profesor padahal pernyataannya lebih cocok jadi guyonan  warung kopi. Ada juga yang bersalin rupa sebagai imam besar, padahal lebih sibuk ngitung donasi ketimbang berdzikir. Dunia ini jadi panggung besar dan mereka merasa satu-satunya bintang yang pantas disorot.

MUDAH DILUPAKAN

Jujur saja, hidup ini tetap baik tanpa mereka. Kota ini berdiri tegak tanpa perlu pidatonya. Komunitas terus berjalan meski mereka telah dikubur. Bahkan kembang di makam belum kering tetangga sudah sibuk undangan manten atau jadwal arisan, keluarganya  kembali sibuk dengan urusannya. Betapa cepatnya kita dilupakan, sebab pada dasarnya, kita tidak sepenting perkiraan.

Apakah ini ajakan untuk apatis? Tentu tidak. Justru ini seruan untuk menjadi manusia biasa yang bekerja secara  sungguh-sungguh lalu pulang dengan tenang tanpa menuntut dunia memberi tepuk tangan. Seperti matahari yang tak pernah menagih pujian walau ia terbit setiap hari. Menjadi berguna, bukan penting. Menyebar manfaat, bukan memaksakan kehendak.

Sayangnya tidak semua orang bisa sumeleh. Banyak yang terlalu sibuk mencatat jasa pribadi seperti tukang fotokopi yang mencetak riwayat hidup pelanggan. Saya jadi ingat masa lalu, saat forum diskusi bukan tempat berpikir tapi ajang masturbasi pikiran.  Yang penting ngoceh, soal logis atau tidak, urusan nanti. Bahkan saya sendiri dulu seperti itu, asal beda, asal ribut, asal dianggap.

Pernah dalam sebuah forum tentang rendahnya apresiasi seni, saya berkata lantang: "Jangan salahkan masyarakat! Ini dosa besar kalian para seniman senior. Kalian tidak sungguh-sungguh berjuang. Kalian generasi gagal dengan dosa yang tak terampuni!" Seketika forum berubah jadi ruang krematorium, orang-orang emosi. Para pembicara macam kepiting rebus, merah, diam, lalu mengumpat.

Lucunya, bertahun-tahun berlalu, forum tetap saja seperti itu. Ribuan narasumber datang dan pergi, ribuan wacana dihamburkan dan ribuan orang penting yang sudah mati tapi masih belum membuat dunia berubah drastis.

Seperti uap kopi yang pelan-pelan menghangatkan ruangan, mungkin segala perdebatan itu tak sia-sia. Hanya saja perubahan besar jarang datang lewat teriakan keras. Ia datang perlahan  seperti embun yang tak pernah disambut tapi menyuburkan pagi.

Untuk mereka yang masih sibuk merasa penting, duduklah sebentar. Tarik napas. Minum kopi. Dunia ini terlalu besar untuk dipaksa memuja ego kalian. Apalagi  hidup ini bukan panggung teater di mana semua harus tau peranmu. Kadang  menjadi penonton yang bijak lebih mulia daripada jadi aktor yang lupa naskah tapi ngotot minta perhatian.

Penulis : Rokimdakas
Wartawan & Penulis

Kanal Kolom adalah halaman khusus layanan bagi masyarakat untuk menulis berita lepas.

Redaksi Jatimkini.com tidak bertanggungjawab atas tulisan tersebut

 

 

Editor : Redaksi

IDUL ADHA 2025
Kopilot
LAINNYA